Pengarang dan Luka-Luka: Harga Air Mata Pengarang yang Sangat Mahal

‘Jangan pernah sakiti pengarang karena harga air matanya yang sangat mahal.’ Nafi'ah al-Ma'rab)


 Foto: unsplash.com

Sebuah sejarah yang tak dilupakan, seorang ulama besar Sayyid Quthb pernah menuliskan novel berjudul Duri dalam Jiwa pada tahun 1947, sebelum ia bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang membawanya syahid di tiang gantungan. Novel tersebut memuat tentang kisah cintanya pada dua perempuan yang berakhir kandas. 

Di Jepang, Mari Okada sebagai seorang penulis cerita animasi populer berjudul Ano Hana dikenal sebagai sosok penulis kesedihan dalam setiap karya-karyanya. Suatu ketika Mari Okada merilis biografi yang ia tulis sendiri. 

Hampir semua kisah hidupnya sejak kecil mengalami kesedihan, semua itu ia tumpahkan dalam karya-karyanya yang akhirnya mendunia. 

Di Indonesia sendiri nama seperti Linda Christanty disebut oleh BBC sebagai sang penutur kesedihan yang tak pernah lepas menuliskan luka dalam setiap karyanya. 

Banyak yang mengatakan sulit sekali bisa bersuka cita saat membaca karya pengarang satu ini, seperti ada kesedihan yang mendesak-desak. 

Sementara Linda sendiri mengatakan, ‘saya tidak bermaksud membuat orang menangis dengan karya saya, tetapi bukankah kesedihan itu sendiri realita sebuah kehidupan?’ 

Pengalaman yang Mahal 


 Foto: unsplash.com
Hal paling mahal dalam menulis itu adalah apa yang akan ia tulis. Semua berangkat dari pengalaman batin, apa yang kita rasakan, apa yang masuk ke dalam kepala kita. Maka masalah bagi kehidupan pengarang sebenarnya menjadi emas paling berharga. Pengalaman hidup memang bukan hanya tentang kebahagiaan, kesedihan pun lebih ‘menawan’ dikelola sebagai sesuatu cerita yang memikat.

Menulis memang jalan pilihan, ada yang memilih menulis untuk tertawa, dan ada juga yang dilakukan untuk sekadar membasuh luka. Berbagi luka bukan berarti berbagi air mata, tetapi berbagi sesuatu yang bisa membuat orang lain agar tak sama mengeluarkan air mata seperti seorang pengarang. 

Betapa mahalnya air mata pengarang. 

Mari Okada menghabiskan air matanya hampir sejak kecil. Masa kecilnya yang suram dalam kondisi tekanan sosial lingkungan dan keluarganya. Lalu beranjak dewasa rupanya kesedihan itu tak kunjung usai, terus begitu sampai ia menemukan jalan hidupnya sebagai pengarang. 

Bagaimana dengan kita? 

Mengarang memang tak harus menunggu air mata itu jatuh, tetapi saat ia benar-benar sudah jatuh, betapa bodohnya jika tak dimanfaatkan untuk sebuah tulisan.

Posting Komentar

0 Komentar