Artificial Intelligence (AI), Etika, Peluang, dan Tantangan

Catatan Nafi’ah al-Ma’rab (founder Ayse Brand)

Teknologi aplikasi AI pembuat artikel saat ini makin marak. Saya kebetulan riset baca sana-sini, ada yang menarik. Belum lama ini seorang professor sebuah universitas di South Carolina menggagalkan kelulusan mata kuliah mahasiswanya yang diketahui menggunakan aplikasi ChatGPT untuk membuat esai kelas filsafat professor tersebut.

Awal ceritanya lucu. Sang profesor ini hanya memberi tugas membuat esai 500 kata kepada mahasiswanya tentang filsuf abad ke-18 David Hume.

Darren Hick sang profesor ternyata sudah berpengalaman menggunakan berbagai jenis aplikasi AI pembuat artikel. Saat membaca esai dari salah satu mahasiswanya, ia curiga bahwa artikel esai tersebut dibuat menggunakan aplikasi ChatGPT.

Ia pun membuktikannya. Cara pertama artikel tersebut ia masukkan ke aplikasi untuk menentukan tanggapan ChatGPT, hasilnya 99,9 persen cocok. Lalu ia pun memasukkan judul-judul dan pertanyaan ke ChatGPT yang ia duga sudah dilakukan mahasiswanya. Hasilnya serupa. Atas tindakannya itu, si mahasiswa tidak diluluskan mata kuliahnya oleh sang professor.

Apakah Teknologi AI Salah?

Seperti perbincangan yang saya ikuti dengan tim penulis SEO beberapa waktu lalu, teknologi AI ini memang perlu disikapi bijak. Teknologi akan terus berkembang, tinggal bagaimana kita menjadikan teknologi sebagai sahabat.

Sebenarnya si mahasiswa ini tidak sepenuhnya salah kalau dia sedikit smart. Aplikasi adalah pembantu aktivitas agar lebih mudah dan cepat, tetapi bukan berarti kita menyandarkan sepenuhnya kemampuan pada aplikasi.

Skill menulis adalah hal penting yang wajib dikuasai. Apa yang dituliskan oleh mesin sebenarnya bisa jadi pemantik ide yang mungkin kita belum terpikir sebelumnya.

Apa yang dituliskan ChatGPT seharusnya ditelaah dan diedit lagi oleh si mahasiswa dengan sudut pandang dan informasi yang lebih lengkap. Kemampuan nalar manusia bagaimanapun juga di atas mesin, maka jika skill menulisnya sudah bagus, keberadaan mesin justru akan semakin meningkatkan kualitas tulisan.

Bagi pendidik seperti dosen atau guru juga penting memiliki pengetahuan aplikasi AI ini dengan baik, punya kemampuan menulis pun sangat penting.

Etika Menggunakan Kecerdasan Buatan

Revolusi Industri 5.0 telah dimulai. Pasca Jepang mendeklarasikan era ini pada tanggal 21 Januari 2019, geliat perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) pun kian bergeliat. Sebuah kabar baik sekaligus tantangan dan ancaman yang perlu disikapi dengan cepat, tepat, dan bijaksana.

Samuel Altman selaku CEO OpenAI yang membawahi ChatGPT pernah bilang ke Mas Menteri Nadiem saat kunjungan khususnya ke Indonesia, jangan takut dengan ChatGPT, dunia pendidikan Anda tidak akan tergantikan. Demikian Sam menghibur Mas Menteri setelah curhatan Mas Menteri terkait ChatGPT yang fenomenal di Indonesia. Namun, tentunya bukan asal tidak khawatir, perlu adanya sikap dan langkah yang tepat untuk penggunaan kecerdasan buatan yang berhubungan langsung dengan dunia literasi. Jika tidak menjadi peluang, maka teknologi ini akan jadi ancaman.

Tak perlu dipungkiri, banyak pihak yang merasa senang dengan kehadiran kecerdasan seperti ChatGPT maupun aplikasi lainnya. Kerja jadi lebih cepat, mudah, dan bisa menjadi solusi di saat-saat sulit. Para guru dengan mudahnya bisa membuat video pembelajaran berteknologi AI, membuat rencana pembelajaran hanya dengan hitungan detik, membuat slide presentasi kurang dari satu menit, membuat animasi pembelajaran yang unik, dan seterusnya.

Para siswa dan mahasiswa pun tak kalah gembiranya. Membuat makalah dan skripsi jadi lebih cepat, mudah, dan praktis. Oleh karena hasil konten dari ChatGPT tidak terdeteksi dengan berbagai tools plagiarism yang ada dan digunakan orang pada umumnya, maka penggunaan kecerdasan buatan ini cukup aman dari deteksi tool plagiarism. Pengecekan konten yang dibuat menggunakan ChatGPT menggunakan alat khusus yang juga diperoleh dari ChatGPT.

Demikian juga dunia kerja saat ini. Keberadaan kecerdasan buatan sangat membantu efisiensi secara biaya. Ada banyak perusahaan yang cukup hanya dengan menggunakan perangkat AI untuk kinerjanya. Membuat konten artikel misalnya, tidak lagi membutuhkan penulis. Hal ini dilakukan untuk lebih menghemat pembiayaan bisnis secara lebih efisien. Terus begitu di berbagai industri dunia. Penyiar telah digantikan robot AI, dosen mulai diganti, pelayanan pelanggan diganti, dan seterusnya. Tujuan dari perusahaan tersebut adalah hemat anggaran.

Dalam sebuah kelas pelatihan Artificial Intelligence yang saya isi beberapa waktu lalu di sebuah kabupaten di Riau, seorang peserta bertanya apakah boleh membuat kumpulan cerita pendek yang dibuat dari ChatGPT? Jawaban saya singkat, boleh. Namun, beranikah Anda mencantumkan dalam sampul buku tersebut bahwa cerpen-cerpen Anda itu dibuat dengan menggunakan ChatGPT? Si penanya tertawa dan bilang tidak mau.

Keberadaan kecerdasan buatan perlu disikapi dengan etika komunikasi digital yang benar agar tidak mengancam masa depan literasi kita. Etika yang benar adalah sikap jujur dan tanggung jawab terhadap sebuah produk literasi yang kita buat. Apakah Anda menggunakan perangkat AI dalam menulis atau tidak, semua itu terpulang kepada sikap jujur dan tanggung jawab yang dimiliki. Bagi penggiat literasi, ia tidak akan pernah memercayakan sepenuhnya hasil tulisan kepada mesin, sebab mesin tersebut memiliki banyak kelemahan ketimbang daya pikir manusia. Beberapa jenis konten tertentu bahkan tidak bisa dibuat oleh AI. Dari segi kecepatan proses memang manusia akan kalah cepat, tetapi dari segi kualitas manusia akan lebih mampu membuat hasil tulisan yang lebih kaya, lebih informatif, lebih terkini, dan lebih memiliki nilai estetika.

Bagaimana Nasib Penulis?

Beberapa bulan yang lalu saya mengikuti kelas upgrading rutin dari  Mas Danu, seorang pakar SEO dari Saung Writer asal Jogja. Saung Writer sendiri merupakan layanan jasa penulisan artikel profesional kelas premium hingga advance di Indonesia. Beliau menjelaskan tentang tahun 2023 ini penulis semakin banyak tantangan. Tantangan sekaligus peluang baru yang harus terus diikuti perkembangannya.

“Kita bersaing dengan teknologi,” ujar Mas Danu.

Saya auto googling ketika Mas Danu menyebut beberapa aplikasi AI populer yang bisa menulis artikel. Saya coba beberapa aplikasi tersebut, dan bisa saya ketahui hasilnya seperti apa.

Jika orang di media social ramai pamer avatar AI, para penulis sebenarnya juga punya tantangan dengan perkembangan AI yang semakin pesat. Ada banyak aplikasi kepenulisan yang mampu menghasilkan tulisan dalam hitungan detik. Cukup kamu masukkan judulnya, si mesin bisa bikin isi tulisannya secara otomatis. Kebayang nggak?

“Apa bisa kita digantikan AI sebagai penulis?” Mas Danu bertanya serius.

“Nggak Mas, kan yang menciptakan AI kita,” kami serenta jawab.

“Ya, kita akan menjadikan AI ini sebagai teman, bukan lawan. Bagaimanapun pengetahuan manusia yang Allah berikan itu udah pasti lebih istimewa dari sekadar kecanggihan mesin. Kita akan buat sistemnya bagaimana si AI ini bisa kita manfaatkan peluangnya untuk peluang bisnis,” jelas Mas Danu.

Kami setuju, peluang berikutnya sebagai penulis di era digital adalah menjadi editor AI. Jadi teknologi ini tetap kita kuasai, penulis tetap bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Mesin tidak akan bisa secanggih mesin buatan Allah, itulah otak manusia.

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar