Religiusitas dalam NUN (Membaca Hakikat Kehidupan)



Sebuah Catatan Riki Utomi 

Kehidupan ini harus disikapi dengan bijak. Bijak dalam melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan nilai-nilai agama. Menyikapi itu semua memerlukan keteguhan hati agar terlaksana dengan baik. Manusia memiliki nafsu (keinginan; naluri) yang apabila tidak dijalankan dengan semestinya, maka akan berakibat bencana bagi dirinya ataupun orang lain. Untuk itulah, manusia sejatinya harus berpedoman pada nahkoda agamanya masing-masing.
Agama sesuatu yang mutlak. Merupakan “nahkoda” yang dapat membawa manusia kepada arus yang lurus, meski disana-sini terhampar badai menderu, gelombang bergulung menerjang, petir-kilat menyambar. Namun nahkoda kebenaran itu harus tetap menjadi cara yang paling ampuh dalam segala hal, dalam segala hiruk-pikuk masalah yang membentang dalam kehidupan ini.
Sejatinya hidup adalah menghadapi masalah. Masalah yang tak pernah putus setelah dicincang oleh belati yang paling tajam sekalipun. Selain itu, sejatinya hidup juga tempat kita letih. Sebab segala hal yang kita lakukan akan berujung kepada letih yang hinggap di tubuh. Namun tentu, sebagai manusia yang memiliki agama yang lurus ini (orang yang beriman kepada Allah SWT) kita harus memiliki keimanan yang mampu memberi ketenangan hati. Hingga menjalankan hidup ini dengan apa adanya; langgeng, tenang, berusaha maksimal, berdoa, dan tawakkal.
Satu sisi kehidupan yang kita jalani di dunia ini sangat komplek (beragam) dari masalah yang melandanya tersebut. Barangkali, boleh jadi, disitulah letak “seni”nya untuk menghadapi masalah dengan kadar kemampuan kita masing-masing. Keragaman itu (baca: “seni” menyiasati kehidupan) itu barangkali yang banyak kita tangkap dari karya sastra. Mengapa? Sebab, para sastrawan akan mengambil lalu mengolahnya dengan apik ke dalam karya sastra. Hingga karya sastra mampu memberi ruang dalam menyimpan segala kemaslahatan hidup yang diolah dari sisi karya fiksi. Ujungnya kita—sebagai orang yang beriman ini—menyimpannya dalam keyakinan kepada Allah SWT. Untuk itulah cukup banyak karya sastra yang mengambil jalan religiusitas. Perpaduan dalam mengungkapkan problematika hidup ini ke dalam kancah religius menjadi “jalan” yang asyik untuk ditempuh hingga mampu dibahasakan dengan indah dan memikat.
Hal ini terkhusus dalam puisi, sudah banyak kita jumpai puisi-puisi yang memiliki ciri religiusitas yang menjadi ciri khas para penyairnya. Abdul Hadi W.M. dalam kumpulan puisinya Tuhan, Kita Begitu Dekat sangat sarat dengan aroma profetik, begitu kental menuansakan puisinya menjadi bagian yang lekat dalam pembicaraan ketuhanan. Begitu pula Kuntowijoyo dalam dua kumpulan puisinya Makrifat Daun, Daun Makrifat, dan Suluk Awang-Uwung memiliki keistimewaan dalam menyampaian perihal kehidupan ke dalam puisinya yang religius. Juga puisi-puisi Zawawi Imron dalam Jalan Hati Jalan Samudera yang juga sarat kesan religius. Dalam jajaran penyair Riau, Musa Ismail juga sarat menumjamkan masalah kehidupan ke arah religiusitas lewat kumpulan puisinya Sultan, Tanjak, Keris: Tak Malu Kita Jadi Melayu. Selain itu, para pendahulunya Husnu Abadi juga kental dengan nuansa tersebut lewat kumpulan puisinya Lautan kabut. Tentu masih banyak lagi yang tak dapat dicatat satu-persatu dalam tulisan singkat ini.
Kehadiran puisi tentu tidak dengan tiba-tiba, seperti sulap. Namun sarat akan sesuatu yang melatarbelakanginya. Pengalaman kehidupan menjadi tolok ukur paling berpengaruh dalam penciptaan sebuah puisi. Selain itu puisi akan memiliki daya gugah tersendiri bagi penyair yang menyandingkan puisinya pada tema-tema religiusitas. Hingga puisi tersebut memberi warna tersendiri. Setidaknya dalam pembacaan saya dalam kumpulan puisi NUN, karya salah seorang penyair (sastrawan) senior dari Lamongan ini memiliki khasanah tersendiri atau tempat tersendiri dalam perpuisian Tanah Air. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh kritikus Korrie Layun Rampan dan Sutardji Calzoum Bachri pada kulit buku puisinya tersebut.
Kehadiran kumpulan puisi bercover polos hitam pekat ini dan hanya bertuliskan huruf hijayyah “Nun”, mampu memberi kesan tersendiri, lain daripada yang lain untuk ditelisik. Satu huruf hijayyah itu sangat sarat dengan kemisteriusan yang bersembunyi dalam balik tabir. Nuansa “kebatinan” seperti menyeruak samar-samar dan cukup memberi rasa getar hati sekaligus mengeryitkan dahi; apakah gerangan makna di sebalik huruf itu?
Tentu, puisi adalah karya sastra yang tidak sama dengan prosa; cerpen dan novel. Puisi sarat menyuarakan makna terselubung (konotasi) yang mana secara detail seperti yang dikatakan Maman S Mahayana, hanya penyairnya saja yang menyimpan maksud itu dalam brangkas hatinya yang paling dalam. Namun tentu, pembaca sebagai penikmat tetap memiliki posisi yang dapat menelusuri keindahan estetik tersebut, hingga keindahan itu dapat dinikmati. Sebab, bukankah peluang tafsir terbentang luas? Dan pembaca memiliki nahkoda tersendiri untuk menafsirkan (menginterpretasikan) puisi dalam perspektifnya masing-masing dalam hal menuju kenikmatan isi puisi.
Kumpulan puisi NUN karya sastrawan Abdul Wachid B.S. ini terbingkai dengan beragam pembahasan. Pembahasan yang sepertinya tidak luput dari pengamatan tajam penyairnya sendiri. Mengingat latar belakang penyair seorang tenaga pengajar kampus yang tentu pula memiliki sikap kritis dalam menyuarakan ketidakadilan juga menentang hal-hal yang pincang dari kebijakan-kebijakan negeri ini. Maka tidak heran, puisi-puisi dalam kumpulan ini tak luput dari nada politik, selain itu pula nuansa kritik sosial, romantisme, keindahan alam, semangat hidup, kasih sayang kepada orang tua, sampai kehidupan di seputar nuansa lebaran menjadi warna-warni tema yang diangkat dalam kumpulan ini. Namun, pembahasan dalam tulisan sederhana ini hanya mengarah pada unsur religiusitas saja, mengingat sejumlah judul sangat lekat mengarah kepada judul besar NUN tersebut. Selain itu, hemat saya, nuansa religiusitas tersebut secara garis besar mengarah kepada seluruh pembicaraan dalam segala tema pada kumpulan ini.
Adapun sejumlah puisi yang menjadi perhatian saya dalam kumpulan ini antara lain: “Masjid Saka Tunggal”, “Cerita Mbah Basyir”, “Syi’iran Sunan Bonang”, “Aduh Gusti”, “Sajak 33”, dan “Nun”.  Keenam judul tersebut dirasa memiliki gambaran religiusitasnya, sekaligus memiliki porsi besar pada tajuk buku ini. Religiusitas yang berpeluang kepada permenungan kita sebagai manusia akan segala apa yang telah diberikan oleh Sang Khalik (Allah SWT) hingga secara jauh dengan permenungan itu mampu menjadikan manusia memiliki keteguhan iman.
Secara leksikal, religiusitas memiliki arti pengabdian terhadap agama (KBBI). Pengabdian yang utuh, tidak setengah-setengah, yang mampu membangun kepribadian agamis bagi sosok manusianya. Gambaran tersebut dapat ditelusuri dalam “Masjid Saka Tunggal”. Puisi ini menggambarkan kekaguman Aku lirik pada sebuah masjid. Masjid sebagai tempat ibadah yang suci menjadi prioritas bagi umat (seorang) Muslim yang teguh imannya. Kekaguman Aku lirik bukan sebatas rasa kagum saja, namun menyiratkan kesan bahwa ia membicarakan tentang nuansa sejarah /ada tahun pendirian prasasti//. Masjid yang baginya penuh sejarah itu mampu menjadi lambang bagi masyarakat setempat untuk teguh beribadah, secara jauh menjadi “benteng” dalam keimanan kepada Allah SWT yang tidak mudah diterobos oleh perubahan zaman yang serba merusak ini.
/abad 12 sebelum wali sanga// di tanah yang disucikan agama kuna// sebuah batu menhir tegak meraja// di hutan dengan ratusan kera//. Hal ini menyiratkan kilas balik bahwa sebelum datangnya Islam, masyarakat masih berada di jalan yang jauh dari kebenaran agama. Diksi “menhir” dapat menjadi lambang tentang animisme. Kita tahu sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, masyarkat masih berpegang teguh pada kepercayaan pada animisme. Maka, peran Wali Sanga ketika hadir di tengah-tengah masyarakat tersebut mampu memberikan perubahan signifikan dalam meluruskan akidah manusia untuk kembali kepada Tuhan; ketauhidan yang lurus.
Puisi ini dilapisi bait yang memperkuat kesan religius. Aku lirik memberi deskripsi metafor dengan perlambangan untuk menggambarkan lima waktu serta hakikat hidup kita sebagai manusia di dunia ini. /manusia di kelilingi api, angin, air, dan bumi// bahwa hidup haruslah seimbang//. Lambang (api, angin, air, dan bumi) menjadi adalah keseimbangan hidup. Segala hal di bumi juga dibangun dari unsur api, angin, air, yang mampu memberi keajegan (baca: keselarasan) dalam kehidupan. Lanjut Aku Lirik, /yang hidup mestinya seperti alif// jangan bengkok// yang bengkok bukanlah manusia//. Kalimat dalam bait ini sarat dengan hakikat kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan (Allah SWT) dengan hak yang benar; sebagai khalifah di muka bumi. Maka, sudah semestinya manusia hidup dalam rangka beribadah kepada-Nya. Untuk itu manusia harus berada di jalan yang lurus (yang telah dibawa oleh baginda Rasulallah SAW). Dalam konteks puisi ini, yang telah ditunjuk dari para Wali Sanga dalam masyarakatnya. Metafor “Alif” sebagai huruf hijayyah menjadi huruf awal dalam abjad Arab. Ia berbentuk lurus-tegak, kokoh menjulang dan gagah. Metafor ini mampu memberi kesan agar manusia secara hakikat harus menegakkan tiang agama. Seperti yang dikatakan Aku lirik: “yang hidup (baca: manusia). Mestinya seperti Alif (baca: tiang yang kokoh). Jangan bengkok (baca: jangan salah arah hingga kelak akan menggelincirkan ke arah musnah). Yang bengkok bukanlah manusia (baca: akibat tidak mematuhi perintah Allah SWT tersebut, akibatnya banyak manusia menjadi bukan seperti manusia). Dalam Al-Quran dikatakan, manusia itu apabila memiliki kadar keimanan yang tinggi maka ia akan melebihi malaikat, sebaliknya kalau ia tidak memiliki iman, maka ia lebih rendah derajatnya daripada hewan.
Kemudian, puisi ini dengan bait yang bercetak miring, Aku lirik mengatakan (semacam) lagu. /jangan terlalu banyak air// kalau tak ingin tenggelam// jangan terlalu banyak angin// bila tak tahan masuk angin// jangan bermain api// jika takut terbakar// jangan terlalu memuja bumi// jika tak ingin terjatuh//. Sarat metafor yang lekat dengan perlambangan religiusitas. Semua itu menyiratkan perlambangan ke arah hakikat hidup. Bahwa intinya kita sebagai manusia dalam hidup ini tidak boleh berlebihan. Apabila berlebihan akan menimbulkan kemudharatan.
Berikut, puisi berjudul “Cerita Mbah Basyir” menyuguhkan penggal kisah yang menjadi motivasi hidup penyair. Ada sosok yang dikagumi yaitu Mbah Basyir, seorang ulama kharismatik yang penuh senyum dan cerah wajahnya. Menjadi sosok tersendiri yang mampu memberi peneduh bagi mereka yang kenal dengannya. /bertemu Gus Miek di pesantren makam agung Tuban// ia menyapa salam dan mencium tangan yang belum karuan tengadah arah//. Puisi ini menyiratkan pesan bahwa kita harus memiliki sikap kepribadian yang sesuai dengan tuntutan agama: halus budi pekerti, penyayang pada siapa saja. Hal ini diingatkan kembali oleh Aku lirik bahwa “sambunglah sapa setiap pagi 40 rumah silaturahmi.” Ketika ia teringat salah seorang gurunya. Hal ini menegaskan bahwa menjaga silaturahmi adalah menjadikan hidup penuh berkah.
Bait terakhir, menyiratkan pesan mendalam akan arti persaudaraan sesama muslim, bahwa dengan silaturahmi akan menjadikan kita menemukan cahaya (baca: ketenangan) meski telah kembali kepada sang Khalik. /… ia menyapa salam dan mencium// tangan yang// kemanapun arah itulah wajah cahaya//. /di bawah pohon jati sampai akhir nanti// hamba berkawan sunyi//.
Berikut puisi berjudul “Syi’iran Sunan Bonang” sebuah puisi yang syahdu. Sarat dengan pesan keimanan yang berbalut kenangan. Penyair menyiratkan sebagian besar puisinya pada kenangan religius. “Rasa kenangan” itu menjadi ide kreatifnya dalam menuliskan puisi. Puisi bukan sebatas curahan hati, namun tempat menumbuhkan semangat keimanan yang terus digali dari pengalaman religius itu sendiri hingga puisi-puisinya hadir dengan kuat. /bunyi bonang di masa kecil itu// ditabuh kembali oleh hati yang// sembahyang di sebuah surau sentana//.
 Namun bukan sebatas kenangan religius saja dalam puisi ini. Lebih jauh puisi ini menyiratkan pesan simbolik bahwa lingkungan sosial tempat hidup penyair mampu menjadi bermakna oleh perihal orang-orang di sekitarnya yang saleh. Saya menangkap pesan metaforik dalam hal ini. Dalam bait ketiga, keempat, kelima, dan keenam, diksi “tongkat” disebut-sebut penyair sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sosok kesalehan seseorang. Sekali lagi, saya menangkap pula aura sejarah dari puisi ini. Salah satu wali sembilan itu adalah Sunan Bonang. Sosok Sunan Bonang yang digambarkan mempunyai kharisma tersendiri bagi masyarakat tempatan mampu “hadir kembali” dalam ingatan (sejarah) bagi generasi kini. Diksi “tongkat” itu sendiri adalah milik sosoknya—dalam hal ini—menjadi simbol bimbingan bagi orang yang dibimbing. /ketika tongkatnya menunjuk pohon siwalan// sebuah tongkat azimat keramat// tak pernah lepas tangan, kemana hati berkiblat// bernafas makrifatullah hingga tamat//.
Bait keempat berbicara dalam hal sama. “Tongkat” itu sebagai makna perlambangan dalam memberikan petunjuk atau arah jalan yang benar. /sebuah tongkat lebih berharga daripada pohon emas// tangan kebaikan, tongkat saling berpegang cinta berbalas// tongkat kebaikan, tangan saling menyambung cinta tak terwatas//. Lalu diakhiri dengan indah dari dua baris kalimat: /sebuah tongkat yang menuntun istiqamah// lebih mulia daripada seribu nasab yang karamah//.
Secara jauh metafor “tongkat” itu dapat ditafsirkan yaitu agama Islam. Agama yang penuh rahmat dan barokah, yang mampu menjadi penuntun manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat. Penyair bilang, “sebuah tongkat lebih berharga daripada pohon emas.” Beribadah kepada Allah SWT dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dengan ikhlas dan berusaha bersyukur serta tawakkal lebih baik karena itulah bukti keimanan kita yang agung. Bekal keimanan yang tinggi tidak akan terkalahkan daripada emas yang melimpah karena orang yang beriman sungguh-sungguh tidak akan menaruh dunia ke dalam hatinya. Sebaliknya orang yang kaya namun kikir dan angkuh (baca: tidak menjadikan hartanya yang banyak untuk kebaikan) akan menemukan kemudaratan dari hartanya sendiri; oleh sebab orang tersebut tidak memiliki iman yang baik. Lalu penyair, dengan luwes dan tenang membawa pengalaman batin dalam permenungan kreatifnya ke lingkungan sosialnya yang sarat nuansa religius dan sejarah itu, mampu memberikan nilai tersendiri dalam hidupnya.
/bunyi bonang di masa kecil itu// ditabuh kembali oleh jamaah hati yang// berdendang di ribuan surau// menjadi penenang jiwa yang galau//. Memang, sosok orang saleh akan mampu dikenang oleh siapapun, sampai kapanpun, walau masa terus berganti, karena keimanannya yang tinggi kepada Sang Khalik.
Berikut puisi berjudul “Aduh Gusti” memiliki bentuk ucap khas Jawa. Kata “Gusti” lazim dilisankan oleh orang-orang Jawa sebagai pengucapan untuk Tuhan. Penyair, barangkali, memilih diksi tersebut sebagai bentuk ragam keakrabannya karena anak jati Jawa. Puisi ini sarat oleh permenungan penyair akan penyerahan diri kepada Allah SWT. Tiap bait terdapat frasa “aduh gusti” sebagai bentuk “penghambaan” diri yang tidak memiliki apa-apa di mata Tuhan, oleh sebab itu, secara hakikat, kita (manusia) sepantasnya memohon kepada-Nya.
/aduh gusti// hamba debu bermandikan debu// hari-hari hamba menjadi kelabu// hitamputih putihhitam tidak menentu//. Ada pergulatan batin dalam diri Aku lirik dengan mengatakan “hamba debu”. Secara hakikat bahwa kita manusia tidak memiliki apa-apa; sangat kecil di mata Tuhan yang Maha Besar. “Debu” sebagai diksi yang bermator kepada “kecil”, “tidak berdaya”, “tidak ada apa-apanya”.
Bait kedua, penghambaan diri itu berbunyi, /harapharap cemas cemaskan harapharap// segala dan semua hamba bertiarap// kecuali cinta yang bikin darah tersirap//. Sebagai manusia biasa sudah sewajarnya kita selalu cemas; akan perbuatan dosa, kekhilafan, ketidaksengajaan; kadang terlewat batas dan lupa kepada Tuhan. Untuk itu diksi “cemas” menjadi bentuk penggambaran yang mengarah pada bait ini. Adapun diksi “bertiarap” bermetafor kepada “ketidakberdayaan”. Namun, Aku lirik tidak larut dalam ketidakberdayaan itu karena sebagai seorang yang memiliki iman, ia terus berupaya sadar untuk kembali berbenah diri, yaitu ia masih memiliki “cinta” sebagai diksi yang dipilih oleh penyair, dapat ditafsirkan sebagai “harapan” yang “bikin darah tersirap”; dapat ditafsirkan “dengan kekuatan ‘cinta’ itu manusia masih memiliki harapan untuk bertobat”.
Bait ketiga, Aku lirik mengatakan, /aduh gusti// sekalipun hamba penuh noda// tetapi hamba senantiasa berdoa// semoga gusti mengampuni seluas samudera//. Aku lirik tahu, bahwa Tuhan (Allah SWT) adalah Maha Pengampun. Untuk itu, meski ia penuh dosa tapi ia percaya akan ampunan Tuhan: “tetapi hamba senantiasa berdoa.” Berdoa adalah harapan yang selalu menjadi ‘harap-harap cemas’. Dengan harapan itu, Aku lirik berkata: “semoga gusti mengampuni seluas semudera.” Dalam salah satu riwayat Nabi Musa AS, pernah suatu ketika sang Nabi didatangi seorang perempuan, meminta agar sang Nabi memohon kepada Allah SWT untuk mengampuni dosa yang telah diperbuatnya. Terlebih dahulu Nabi Musa bertanya, “Wahai perempuan, apa perbuatanmu itu?” Si Perempuan menjawab, “Aku telah berzina, lalu aku membunuh anak yang baru dilahirkan itu.” Mendengar hal tersebut, lalu Nabi Musa marah dan mengusir perempuan itu. Kemudian, malaikat Jibril turun menemui Nabi Musa. “Wahai Musa, mengapa engkau mengusir perempuan itu yang telah tulus untuk meminta ampunan kepada Tuhannya?” Nabi Musa menjawab, “Ia telah melakukan zina dan membunuh anaknya!” Jibril lalu menjawab, “Bukankah Allah SWT Maha Pengampun, selama seseorang itu ingin sungguh-sungguh bertaubat kepada-Nya, insyaallah akan diampuni. Kecuali dosa syirik kepada-Nya.”
Bait terakhir puisi ini, selaras dengan cerita tersebut, bahwa kalimat terakhir “semoga gusti mengampuni seluas samudera.” Menjadi sikap teguh yang baik, bahwa kita (sebagai orang Islam) hakikatnya telah diberikan anugerah “jalan yang lurus” karena Islam satu-satu agama yang diridhoi Allah SWT. Untuk itu, janganlah berputus asa dalam bertaubat.
Berikut, puisi berjudul “Sajak 33” sarat dengan permenungan tentang rahasia-rahasia Allah SWT. Sejatinya dunia adalah misteri yang harus digali. Menggali itu dengan ilmu yang telah Allah turunkan kepada manusia. /rasul tidak menerang rahasia// dalam bilangan 33: ada apa?// lalu kau aku ingat namanama// dalam bilangan 99//. Angka 33 sebagai bentuk keterangan dalam hal “bertasbih”, “bertahmid”, “bertakbir”. Hal ini mengingatkan kita dalam melakukan tahlilan. Jumlah angka 33 ini, disebutkan Aku lirik masih rahasia; penuh misteri, yang sejatinya hanya Allah SWT sendiri yang tahu maksudnya. Lalu angka 99 menunjukkan pada keterangan nama-nama Allah yang baik.
Secara tidak langsung, puisi ini menyiratkan kesan bahwa kita sebagai hamba Allah SWT harus selalu berserah diri kepada-Nya. Tawakkal ada jalan terbaik setelah berusaha. Biarlah segala rahasia tersebut hanya milik Allah. Sebagai hamba-Nya, kita hanya bisa menjalankan hidup ini apa adanya dari sebatas ilmu yang kita miliki. Bukankah dalam Al-Quran juga ada ayat-ayat yang diawali dengan huruf-huruf tersendiri? Yang hanya Allah sendiri yang tahu hakikatnya. Lalu aku lirik dengan bijak berkata, /hanya milik Allah asma ul husna// memohon menyebutnya// meninggalkan orang-orang ramai di jalan simpang// kau aku menyebut namanama begitu sayang//. Hal ini menyiratkan hendaknya kita senantiasa bertutur (menjaga lisan) yang baik-baik. Karena lisan—seperti kata pepatah—lebih tajam daripada pedang. Dengan lisan (kata-kata) seseorang akan dapat menjadi mulia karena tutur katanya yang berfaedah; sebaliknya karena lisan pula seseorang terjerumus ke dalam kemungkaran, kefasikan, kejelekan-kejelekan yang dapat merugikan kehidupannya di dunia dan akhirat. Aku lirik, menyakinkan kembali, /meninggalkan orang-orang ramai di jalan simpang//. Kalimat ini sederhana, namun memiliki makna simbolis yang dapat ditafsirkan bahwa tinggalkanlah kemudorotan. Frasa “orang-orang ramai di jalan simpang” adalah tempat berkumpulnya manusia dari segala usia dan jenis kelamin, yang selalu bercerita-cerita tanpa tahu tema. Akibat berkumpul yang tidak berfaedah itu dapat menjadi hal yang kurang bermanfaat (baca: hanya buang-buang waktu). Boleh jadi, lebih jauh hanya bercerita tentang keburukan (aib) orang lain tanpa sadar hal itu sebuah dosa. Hal ini senada dengan—tiba-tiba saya teringat—Gurindam 12 karangan pujangga besar Melayu Raja Ali Haji “apabila banyak berkata-kata/ disitulah jalan masuk dusta.” “barangsiapa perkataan kotor/ mulutnya itu umpama ketor.” “lidah yang suka membenarkan dirinya/ daripada yang lain dapat kesalahannya.”
Terakhir dari pembahasan singkat ini, puisi berjudul “NUN” yang menjadi tajuk utama buku ini. Diksi “NUN” menjadi misteri tersendiri dalam hal ini. Hemat saya, penyair (Abdul Wachid B.S.) dalam hal ini menempatkan puisinya dari kalam Al-Quran dengan elok. Unsur religius begitu kental, terbawa oleh diksi yang selaras, sekaligus kaya tafsir dengan tetap menjaga keutuhan bentuknya. Lalu, diksi “NUN” yang dipilih penyair sungguh tidak mudah diterjemahkan, sebagaimana sebagian dari kalimat ayat-ayat suci Al-Quran itu sendiri. Namun, disinilah kepiawaian seorang penyair dalam menggali ide kreatifnya yaitu mampu membangun konteks puisi yang elok bernuansa ayat-ayat suci; artinya penyair menggali, meneroka, sambil menuliskannya dengan bahasa puitis yang penuh makna, oleh metafora-metafora pada kalimat, dan kaya tafsir. Seperti Sapardi Djoko Damono bilang bahwa puisi itu, “bilang begini, maksudnya begitu.” Ada konteks pengalaman batin, religius, sosial, romantis, bahkan politik yang bergelut-gelut, berbuncah-buncah, bersimbah-simbah oleh samudera kata yang luas akan hikmah. Itulah puisi.
Dan, “NUN” setakat yang saya tangkap tetap memiliki daya ungkap yang tak mudah diselidiki oleh kacamata biasa. Namun sebagai pembaca dan penikmat puisi, harapan menikmati tentu tidak sebatas sebagai sarana kepuasan estetik belaka, tetapi—mengingat saya juga pecinta puisi yang sekaligus penulis puisi—tetap berusaha mencerna dengan pengetahuan yang terbatas. Bolehlah dikata sebagai tafsir ringan (dengan tidak bermaksud berlebihan) meski tidak jauh dan luas, namun tetap dalam rangka mencoba “menelisik” puisi itu.
Puisi ini diawali pembukaan kutipan kalimat bahasa Arab. Namun saya lebih tertarik pada kalimat pada bait selanjutnya, /nun// demi pena penyair dan puisi yang// mereka lahirkan// karena sentuhan-Nya// kau tidak menjadi gila//. Diksi “pena” dapat ditafsirkan sebagai “cahaya yang menuntun jalan terang.” Atas izin Tuhan, manusia dapat keluar dari jalan kegelapan menuju jalan terang; jalan kebenaran. Hal ini selaras dengan kisah dimana masa sebelum baginda Nabi Muhammad SAW dilahirkan, masyarakat Arab berada di zaman kegelapan (Jahiliyah) yang menyembah berhala-berhala. Dengan kuasa-Nya, diutuslah baginda Rasulallah untuk membawa manusia ke jalan terang dengan “pena-Nya” (kalam-Nya) artinya petunjuk cahaya yaitu Al-Quran sebagai penerang yang sangat jelas (baca: pembeda yang hak dan yang batil).
Apa yang diturunkan oleh baginda Nabi SAW adalah “Pena-Nya” (cahaya) yang membuat manusia jelas dalam berpikir. Pena itu menunjukkan bukti kebesaran Allah SWT. Pena—dalam hal ini—dapat pula ditafsirkan sebagai “Kuasa” Allah SWT, secara kuasa-Nya (Allah SWT) memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Baginda Nabi Muhammad SAW hanya seorang hamba Allah SWT, yang hanya memberi penerangan. Hal diksi “pena” itu dapat pula beralih ke pada posisi objek yaitu sosok baginda Nabi SAW. Hal ini dimotaforkan dalam bingkai kalimat dalam bait ketiga: /aku cumalah sebatang pena, yang// ketika engau angkat, yang// ketika engakau tuliskan// nafs-ku cumalah// tergantung kepada// tiupan udara takdirmu//. Sebagai penemban wahyu, bagina Nabi SAW selalu setia pada junjungan perintah Allah SWT. Bertawakal dan berserah diri akan kebesaran dan kuasa Allah SWT. Dalam riwayat kehidupan baginda Nabi SAW, bahwa Beliau selalu dilindungi dan dirahmati dimanapun berada. Meski kaum Kurais selalu menantang dan memburu baginda Nabi SAW. Kuasa Allah SWT sangat besar untuk melindungi sang Nabi-Nya: “Nafas dan nafs-ku cumalah tergantung kepada tiupan udara takdirmu.”
Bait keempat mengarah kepada “Pena-Nya” (Cahaya-Nya). Sejauh mana kita sebagai orang yang merasa menjadi umat baginda Nabi Muhammad SAW mengikuti jejak beliau, mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna, memupuk keimanan dengan kuat. Semua dapat kita pertanyakan pada diri kita masing-masing; selalu mengintropeksi, menimbang-menilai agar kita tidak luput dari mengingat kebesaran Allah SWT. /tetapi// semoga sebatang pena itu tidak diam-diam di tengah malam// keluar dari kertas putihmu// tidak diam-diam menulisi sembarang tempat// sehingga ia tersesat jalan pulang// kembali kepada kotak// teka-teki takdirmu//. Bahwa hendaklah “pena” (cahaya Al-Quran) itu kita amalkan secara benar dan sungguh-sungguh hingga kita dapat mengenal diri kita (hakikat kita sebagai seorang muslim sejati) agar tidak luput ke jalan yang salah: “sehingga ia tersersat jalan pulang.”
Bait terakhir, /maka peganglah// bagai alif, aku// sebatang pena, yang// sekali sentuhmu// pena ini akan menggila// tersebab gandrung oleh// pukau maha tangan-Mu//. Dapat ditafsirkan sebagai bentuk “rasa” keimanan yang apabila telah tinggi dari seorang (muslim) akan membuat dirinya begitu cinta kepada Sang Khalik (Allah SWT). Dalam riwayat cerita orang-orang saleh—hal ini pada konteks sufi—mereka dapat memiliki tingkat makrifat tinggi. Hingga “rasa” cinta itu begitu mendalam, begitu getar, begitu gelora; bahkan lagi sampai mereka “lupa” pada dunia; karena tubuh mereka terus berputar-putar sambil kedua tangan menengadah (berserah): “sekali sentuh-Mu, ‘pena’ ini akan menggila oleh pukau Maha Tangan-Mu.” Yang oleh penyair dilukiskan dengan penuh simbolis tersebut.
Dari sejumlah puisi yang diulas sederhana ini pada umumnya memberi kesan religius tinggi, yaitu kaya nasihat bagi kita seorang muslim untuk meningkatkan amal-ibadah, sekaligus gambaran orang-orang saleh yang menjadi cerminan untuk dapat pula mengikuti jalan mereka yang selalu diberi “pena” (baca: cahaya; juga hidayah) oleh Allah SWT. Penyair (Abdul Wachid B.S.) tidak sekadar menuliskan nasihat namun sedikit-banyak memberi gambaran hakikat kehidupan yang kita sikapi dengan bijak. Menyikapinya dengan jalan agama kita (Islam) karena Islam adalah jalan yang lurus (rahmatan lil’alamin).
Dengan gaya tulisannya yang metafor itu, mengandung corak-ragam bahasa yang elok (bahasa majas). Meski—sedikit yang agak disayangkan—kumpulan puisi ini ada memuat beberapa puisi yang agak jauh dari rel tema besar religiusitas, yaitu terkesan lepas dari jalurnya. Puisi berjudul “Gong Xi Fa Cai”, “Sajak Jodoh”, “Tabrakan di Jakarta”, “Di Singapura”, seperti lepas dari tema besar “Nun” yang kokoh itu. Meski, boleh kita sebut “Gong Xi Fa Cai” juga terkait religius, apakah selaras dengan religius agama kita (Islam) yang lebih akrab dengan Idul Fitri? Barangkali, penyair memiliki pertimbangan tersendiri dalam hal ini. Namun, sebagai eksistensi senada itu, penyair tidak larut, penyair ternyata juga menyelitkan judul tema Hari Besar yaitu “Idul Fitri”. Membaca lebih jauh kumpulan puisi NUN seperti menelisik “hakikat kehidupan” yang diteropong dari sudut religiusitas. Allahualam. (*)
Selatpanjang, 24 Maret 2020



Riki Utomi. Bukunya yang telah terbit kumpulan puisi Amuk Selat (2020). Kumpulan cerpen Mata Empat (2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015), Mata Kaca (2017). Kumpulan esai Menuju Ke Arus Sastra (2017). Non Fiksi Belajar Sastra Itu Asyik (2019). Kini tengah menyiapkan kumpulan esai kedua. Sejumlah puisinya pernah tersiar di Koran Tempo, Kompas, Indo Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Padang Ekspres, Banjarmasin Post, Serambi Indonesia, Riau Pos, Lampung Post, Redaksi Apajake, Majalah Sabili,  dll. Tinggal di Selatpanjang, Riau.

Posting Komentar

0 Komentar