Cantik (Sebuah Cerpen Karya Nirma Herlina)

 


Aku memberanikan diri menatap matanya untuk pertama kali, dalam-dalam, empat tahun lalu. Ketika sudut bibirku meneteskan darah. Awalnya ia menangis tapi kemudian menyentakku penuh energi dengan matanya yang menghipnosis. Sejak itu, aku sering berbagi cerita dengannya. Terutama menyampaikan apa yang tak pernah kuceritakan pada siapapun.

Dia  benar-benar pendengar yang baik. Tak pernah sekalipun  menyela pembicaraan. Tidak seperti orang-orang yang mengaku temanku. Mereka yang sering bertanya

“Ada apa?”

 “Ayo cerita!”

 “Berbagi itu akan membantu meringankan beban.”

Tapi, mereka bukannya mendengarkan, baru beberapa potong kalimat dari mulutku keluar, mereka  langsung mengomentari dan mengeluarkan nasihat yang membuatku mual. Apa orang-orang itu merasa sudah berbuat baik dengan menyampaikan pendapat yang sebenarnya tidak kubutuhkan. Apa mereka menjadi pahlawan, dengan mengucapkan nasihat berbalut dalil-dalil. Mengatakan aku harus begini, padahal mereka tidak tahu apa-apa tentang hidupku.

Apakah mereka tetap mengatakan aku harus lebih bersabar menghadapi Bang Ijul ketika, hampir tiap hari gelas, piring mendarat di wajahku bersama rentetan caci makinya. Melawan, babak belur. Mengalah, juga hancur.

*****

Aku lupa kapan tepatnya menyadari ada kekuatan di wajahnya. Tepatnya pada mata dan bibir. Mata yang menenangkan ketika aku sedih dan rapuh. Membangkitkan semangat ketika aku jatuh. Dari bibirnya, selalu terucap kata-kata baik dan menyemangati. Mengatakan aku perempuan cantik, hebat, kuat dan pasti bisa menjalani hidup sekeras apapun. Dia yang selalu bisa membuatku merasa istimewa. Hingga aku merasa, aku menyukainya. Lebih dari biasa.

Diam-diam aku sering menemuinya. Biasanya aku yang lebih banyak bicara. Bicara dengan berurai airmata. Setelah lelah memasang wajah ceria di hadapan Bang Ijul. Suamiku marah jika melihatku cemberut. Katanya itu membuatku makin jelek. Suami yang hampir tak pernah memuji selama menikah. Ada saja kekurangan fisik yang dikomentarinya. Gendut, pesek, rambut jegrig, kulit gelap. Belum lagi mengomentari kekuranganku dalam berpikir dan bergerak. Lemot, lelet, otak udang, gerak siput. Kadang aku mengasihaninya sebab yang ia hina adalah  ciptaan Allah. Tapi lama-kelamaan akulah yang harus dikasihani karena menikahinya.

Maka ketika suatu malam, saat dia mengatakan  cantik berkali-kali dengan senyum yang mengembang, aku benar-benar melayang. Lama sekali aku tak pernah mendengar pujian itu. Seingatku hanya ketika masih kecil, ayah dan ibu mengatakannya. Aku seperti berada di jalan gelap yang diterangi kunang-kunang. Seperti pagi dengan kilau matahari putih ketika bersamanya.

Tak perlu merasa bersalah pada Bang Ijul. Toh dia juga bukan suami yang setia. Aku dan kekasihku bertemu hampir tiap hari. Hanya saling pandang dan senyum. Pagi-pagi sekali, saat aku bangun tidur dia akan tersenyum dan mengatakan aku cantik sekali. Bila malam telah datang, saat semua mulai hening dan berkalang sepi ia akan bertanya, “Bagaimana hari ini? Baik-baik saja bukan?”

Lagi-lagi, jika menatap matanya aku merasa sangat baik-baik saja. Dengan memandanginya, aku menjadi lebih positif. Apapun yang dia katakan aku pasti ikuti. Dia menyuruhku mulai banyak membaca buku.

“Isi sel-sel abu-abu di kepalamu itu. Terlalu lama tak membaca buku membuatmu menjadi batu.”

Ia juga menyarankanku agar mengurangi makanan berkarbohidrat. Di lain waktu, ia memintaku mulai berolahraga. Padahal ia sangat tahu aku tak suka olahraga. Tapi akhirnya aku luluh juga saat dia menyodorkan alternatif yoga. Gerakannya ringan namun tetap menguras energi, sekaligus membentuk tubuh menjadi ideal. Tentu saja mendengar itu, aku jadi terpicu. Aku ingin terlihat menarik di depannya.

Aku tidak tertarik lagi dengan pujian Bang Ijul yang mengatakan tubuhku semakin aduhai. Aku masa bodo dengan komentar teman-teman yang mengatakan wajahku semakin bersinar berkat makananku yang sehat. Hal terpenting bagiku adalah pendapat dia. Melihat senyumnya membentuk bulan sabit adalah keindahan melebihi apapun bagiku.

Bang Ijul mulai cemburu. Dia menyelidik. Membuntuti kemana aku pergi. Padahal aku lebih sering di rumah. Dia memeriksa kontak di gawaiku satu per satu. Curiga jika kontak bernama perempuan sesungguhnya laki-laki. Aku geli sendiri. Tapi tentu saja aku jadi tidak bisa leluasa menemui dia yang kucinta.

“Jangan seperti orang gila! Ngapain kamu lama-lama ngaca. Kamu pikir dengan ngaca kamu tambah cantik? Yang ada malah kacanya pecah.” Bang Ijul tertawa puas. Aku kasihan sekali melihatnya, sepertinya dia tak rela aku benar-benar menjadi cantik.

“Ibu mau datang siang nanti. Kamu masak yang enak. Awas kalau sampai bikin malu aku.” Kepulan asap rokok sengaja ditiup ke wajahku membuat terbatuk.

Dadaku berdetak lebih kencang. Ibu mertuaku sekaligus ibu angkatku akan datang. Kakiku tiba-tiba gemetar lemah. Keringat dingin membasahi dahi. Aku takut sekali. Takut dia akan memukulku dengan gagang sapu seperti dulu jika aku berbuat salah. Bagaimana ini? Aku melihat gelap di mana-mana. Aku harus masak apa? Aku tak bisa berpikir. Suara tangis anakku semakin lama semakin jelas. 

Suara Bang Ijul juga semakin kencang berteriak menyuruh anakku diam. Tapi aku tak melihat anakku. Hanya suaranya yang kudengar. Dadaku berdetak semakin kencang. Rasanya sesak. Aku jatuh terduduk memeluk lutut. Aku ingin bertemu dia. Aku butuh dia menguatkanku. Dia pasti tahu aku harus bagaimana. Perutku semakin terasa mual, aku ingin muntah. Badanku dingin. Lebih dingin dari lantai semen tempat aku duduk. Akhirnya aku tertidur. Entah tidur atau pingsan, sama-sama berada dalam alam tidak sadar.

****

Saat aku bangun, Bang Ijul dan anakku tak ada. Kata tetanggaku, mereka pergi bersama ibu mertua. Entah ke mana. Aku datangi rumah Ibu, mereka tak lagi tinggal di sana.

Kesendirianku di rumah membuat kami semakin leluasa bertemu. Semakin hari aku makin jatuh cinta padanya. Bagaimana tidak, ia selalu memujiku.

“Wajahmu semakin bersinar dan tubuhmu semakin ramping padat berisi seperti bulir padi.” Dia mengedipkan mata dan tertawa.

“Bukan hanya itu, kamu terlihat semakin cantik karena referensi yang kamu baca. That’s what so-called inner beauty.” Aku mengangguk setuju. Menurutku aku memang terlihat lebih cantik dan menarik sekarang. Karena itu, siang ini tawaran ngopi bareng Mirna, aku iyakan. Teman SMPku itu hendak mengenalkan aku dengan temannya.

“Kamu cantik sekali.” Kata laki-laki itu di awal perkenalan.

Hatiku mengatakan bahwa ucapannya adalah ucapan ke 2000 yang pernah kudengar.

“Jadi kamu tamatan UNRI? Apa S2? Keren-keren.”

Sebagai sapioseksual, aku menyukai teman Mirna dari luas wawasan dan pengetahuannya tentang berbagai hal. Tapi begitu, aku berada di depan kasir dan dia tidak mengeluarkan dompetnya, aku tahu tipikal begitu, tempatnya adalah tong sampah.

“Kamu sekarang beda, Fi. Makin cantik, makin sehat, usaha makin bagus. Karir di kampus juga semakin melesat. Sudah waktunya mencari pasangan.” Mirna melirik temannya dan tersenyum padaku.

Samar-samar kudengar seseorang mendekat, menyapaku ragu, “Ibu maaf, kapan saya bisa bimbingan? Saya ingin ikut sidang tahap 1 tanggal 29 nanti.”

“Besok,” jawabku singkat dan senyum seanggun mungkin. Aku mulai meniru menggunakan kekuatan mata. Lewat mata, aku menyuruh mahasiswa itu untuk segera pergi.

“Cantik sekali dosenmu itu,” bisik orang di sebelah yang meyapaku, usai mereka pamit. Watch band di tanganku bergetar. Waktunya pulang. Mirna dan temannya mengantarkan. Sepanjang jalan mereka berbicara, dan aku belajar mendengarkan. Mengangguk, tersenyum. Berusaha tak mengeluarkan sepatah kata supaya mirip dengannya. Aku ingin belajar seperti dia, menjadi pendengar yang baik.

Andai saja mobil Mirna punya sayap, aku ingin segera sampai di rumah. Di sana dia pasti sudah menungguku. Tadi aku memintanya pulang duluan. Bergegas aku membuka pintu pagar sambil melambaikan tangan, mengucapkan sampai jumpa pada Mirna dan temannya. Tanganku bergetar membuka pintu. Aku rindu sekali padanya. Entah mengapa. Padahal pagi tadi kami bertemu. Bahkan di café tadi dia membuntutiku ternyata. Aku menangkap basah dia di depan toilet. Katanya dia hanya ingin mengatakan bahwa aku cantik. Bahwa aku tetap cantik meski lipstikku luntur oleh mie goreng.

“Bagaimana? Kamu telah menemukan belahan jiwamu? Apa ini saatnya kamu meninggalkanku?” tanyanya lirih. Matanya sayu. Aku tahu makna tatapan itu. Ia takut aku tingalkan. Seperti halnya aku yang takut kehilangan.  Menatap kedalaman matanya, aku merasakan aneh. Gairah yang berbeda. Badanku menghangat. Sebaliknya aku merasakan ia begitu dingin. Aku pikir ini saatnya membuat pengakuan. Mengungkapkan perasaan yang lama terpendam.

“Belahan jiwaku adalah kamu. Aku tak perlu lagi yang lain,” bisikku tepat di depan wajahnya. Matanya berbinar penuh cinta. Bibirnya melengkung membentuk huruf ba tanpa titik. Aku mengangkat telapak tanganku menempelkan dengan telapak tangannya. Dingin. Ibu jariku bertemu ibu jarinya, begitupun telunjuk dan jemari lainnya. Mengapa ini? Aku tak merasakan hangat darahnya. Yang ada hanyalah dingin. Dekat tapi bersekat.

“Aku…menyintaimu” Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tapi dia dingin. Kuulang berkali-kali, menjauhkan dan mendekatkan wajah padanya, ia tetap dingin. Kesal, kubenturkan dahiku ke dahinya dengan keras. Prang!!! cermin itu pecah. Sekarang aku merasakan ada hangat yang mengalir.

(Pengarang: Nirma Herlina, pengurus Forum Lingkar Pena Cabang Rokan Hulu, pegiat literasi dan pendidik)

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar