Aku
memberanikan diri menatap matanya untuk pertama kali, dalam-dalam, empat tahun
lalu. Ketika sudut bibirku meneteskan darah. Awalnya ia menangis tapi kemudian
menyentakku penuh energi dengan matanya yang menghipnosis. Sejak itu, aku
sering berbagi cerita dengannya. Terutama menyampaikan apa yang tak pernah
kuceritakan pada siapapun.
Dia benar-benar pendengar yang baik. Tak pernah
sekalipun menyela pembicaraan. Tidak
seperti orang-orang yang mengaku temanku. Mereka yang sering bertanya
“Ada
apa?”
“Ayo cerita!”
“Berbagi itu akan membantu meringankan beban.”
Tapi,
mereka bukannya mendengarkan, baru beberapa potong kalimat dari mulutku keluar,
mereka langsung mengomentari dan
mengeluarkan nasihat yang membuatku mual. Apa orang-orang itu merasa sudah berbuat
baik dengan menyampaikan pendapat yang sebenarnya tidak kubutuhkan. Apa mereka
menjadi pahlawan, dengan mengucapkan nasihat berbalut dalil-dalil. Mengatakan
aku harus begini, padahal mereka tidak tahu apa-apa tentang hidupku.
Apakah
mereka tetap mengatakan aku harus lebih bersabar menghadapi Bang Ijul ketika,
hampir tiap hari gelas, piring mendarat di wajahku bersama rentetan caci
makinya. Melawan, babak belur. Mengalah, juga hancur.
*****
Aku
lupa kapan tepatnya menyadari ada kekuatan di wajahnya. Tepatnya pada mata dan
bibir. Mata yang menenangkan ketika aku sedih dan rapuh. Membangkitkan semangat
ketika aku jatuh. Dari bibirnya, selalu terucap kata-kata baik dan
menyemangati. Mengatakan aku perempuan cantik, hebat, kuat dan pasti bisa
menjalani hidup sekeras apapun. Dia yang selalu bisa membuatku merasa istimewa.
Hingga aku merasa, aku menyukainya. Lebih dari biasa.
Diam-diam
aku sering menemuinya. Biasanya aku yang lebih banyak bicara. Bicara dengan
berurai airmata. Setelah lelah memasang wajah ceria di hadapan Bang Ijul.
Suamiku marah jika melihatku cemberut. Katanya itu membuatku makin jelek. Suami
yang hampir tak pernah memuji selama menikah. Ada saja kekurangan fisik yang
dikomentarinya. Gendut, pesek, rambut jegrig, kulit gelap. Belum lagi
mengomentari kekuranganku dalam berpikir dan bergerak. Lemot, lelet, otak
udang, gerak siput. Kadang aku mengasihaninya sebab yang ia hina adalah ciptaan Allah. Tapi lama-kelamaan akulah yang
harus dikasihani karena menikahinya.
Maka
ketika suatu malam, saat dia mengatakan
cantik berkali-kali dengan senyum yang mengembang, aku benar-benar
melayang. Lama sekali aku tak pernah mendengar pujian itu. Seingatku hanya
ketika masih kecil, ayah dan ibu mengatakannya. Aku seperti berada di jalan
gelap yang diterangi kunang-kunang. Seperti pagi dengan kilau matahari putih
ketika bersamanya.
Tak
perlu merasa bersalah pada Bang Ijul. Toh dia juga bukan suami yang setia. Aku
dan kekasihku bertemu hampir tiap hari. Hanya saling pandang dan senyum.
Pagi-pagi sekali, saat aku bangun tidur dia akan tersenyum dan mengatakan aku
cantik sekali. Bila malam telah datang, saat semua mulai hening dan berkalang
sepi ia akan bertanya, “Bagaimana hari ini? Baik-baik saja bukan?”
Lagi-lagi,
jika menatap matanya aku merasa sangat baik-baik saja. Dengan memandanginya,
aku menjadi lebih positif. Apapun yang dia katakan aku pasti ikuti. Dia
menyuruhku mulai banyak membaca buku.
“Isi
sel-sel abu-abu di kepalamu itu. Terlalu lama tak membaca buku membuatmu
menjadi batu.”
Ia
juga menyarankanku agar mengurangi makanan berkarbohidrat. Di lain waktu, ia
memintaku mulai berolahraga. Padahal ia sangat tahu aku tak suka olahraga. Tapi
akhirnya aku luluh juga saat dia menyodorkan alternatif yoga. Gerakannya ringan
namun tetap menguras energi, sekaligus membentuk tubuh menjadi ideal. Tentu
saja mendengar itu, aku jadi terpicu. Aku ingin terlihat menarik di depannya.
Aku
tidak tertarik lagi dengan pujian Bang Ijul yang mengatakan tubuhku semakin
aduhai. Aku masa bodo dengan komentar teman-teman yang mengatakan wajahku
semakin bersinar berkat makananku yang sehat. Hal terpenting bagiku adalah
pendapat dia. Melihat senyumnya membentuk bulan sabit adalah keindahan melebihi
apapun bagiku.
Bang
Ijul mulai cemburu. Dia menyelidik. Membuntuti kemana aku pergi. Padahal aku
lebih sering di rumah. Dia memeriksa kontak di gawaiku satu per satu. Curiga
jika kontak bernama perempuan sesungguhnya laki-laki. Aku geli sendiri. Tapi
tentu saja aku jadi tidak bisa leluasa menemui dia yang kucinta.
“Jangan
seperti orang gila! Ngapain kamu lama-lama ngaca. Kamu pikir dengan ngaca kamu
tambah cantik? Yang ada malah kacanya pecah.” Bang Ijul tertawa puas. Aku
kasihan sekali melihatnya, sepertinya dia tak rela aku benar-benar menjadi
cantik.
“Ibu
mau datang siang nanti. Kamu masak yang enak. Awas kalau sampai bikin malu
aku.” Kepulan asap rokok sengaja ditiup ke wajahku membuat terbatuk.
Dadaku berdetak lebih kencang. Ibu mertuaku sekaligus ibu angkatku akan datang. Kakiku tiba-tiba gemetar lemah. Keringat dingin membasahi dahi. Aku takut sekali. Takut dia akan memukulku dengan gagang sapu seperti dulu jika aku berbuat salah. Bagaimana ini? Aku melihat gelap di mana-mana. Aku harus masak apa? Aku tak bisa berpikir. Suara tangis anakku semakin lama semakin jelas.
Suara Bang
Ijul juga semakin kencang berteriak menyuruh anakku diam. Tapi aku tak melihat
anakku. Hanya suaranya yang kudengar. Dadaku berdetak semakin kencang. Rasanya
sesak. Aku jatuh terduduk memeluk lutut. Aku ingin bertemu dia. Aku butuh dia
menguatkanku. Dia pasti tahu aku harus bagaimana. Perutku semakin terasa mual,
aku ingin muntah. Badanku dingin. Lebih dingin dari lantai semen tempat aku
duduk. Akhirnya aku tertidur. Entah tidur atau pingsan, sama-sama berada dalam
alam tidak sadar.
****
Saat
aku bangun, Bang Ijul dan anakku tak ada. Kata tetanggaku, mereka pergi bersama
ibu mertua. Entah ke mana. Aku datangi rumah Ibu, mereka tak lagi tinggal di
sana.
Kesendirianku
di rumah membuat kami semakin leluasa bertemu. Semakin hari aku makin jatuh
cinta padanya. Bagaimana tidak, ia selalu memujiku.
“Wajahmu
semakin bersinar dan tubuhmu semakin ramping padat berisi seperti bulir padi.”
Dia mengedipkan mata dan tertawa.
“Bukan
hanya itu, kamu terlihat semakin cantik karena referensi yang kamu baca. That’s what so-called inner beauty.” Aku
mengangguk setuju. Menurutku aku memang terlihat lebih cantik dan menarik
sekarang. Karena itu, siang ini tawaran ngopi bareng Mirna, aku iyakan. Teman
SMPku itu hendak mengenalkan aku dengan temannya.
“Kamu
cantik sekali.” Kata laki-laki itu di awal perkenalan.
Hatiku mengatakan
bahwa ucapannya adalah ucapan ke 2000 yang pernah kudengar.
“Jadi
kamu tamatan UNRI? Apa S2? Keren-keren.”
Sebagai
sapioseksual, aku menyukai teman Mirna dari luas wawasan dan pengetahuannya
tentang berbagai hal. Tapi begitu, aku berada di depan kasir dan dia tidak
mengeluarkan dompetnya, aku tahu tipikal begitu, tempatnya adalah tong sampah.
“Kamu
sekarang beda, Fi. Makin cantik, makin sehat, usaha makin bagus. Karir di
kampus juga semakin melesat. Sudah waktunya mencari pasangan.” Mirna melirik
temannya dan tersenyum padaku.
Samar-samar
kudengar seseorang mendekat, menyapaku ragu, “Ibu maaf, kapan saya bisa
bimbingan? Saya ingin ikut sidang tahap 1 tanggal 29 nanti.”
“Besok,”
jawabku singkat dan senyum seanggun mungkin. Aku mulai meniru menggunakan
kekuatan mata. Lewat mata, aku menyuruh mahasiswa itu untuk segera pergi.
“Cantik
sekali dosenmu itu,” bisik orang di sebelah yang meyapaku, usai mereka pamit. Watch band di tanganku bergetar.
Waktunya pulang. Mirna dan temannya mengantarkan. Sepanjang jalan mereka
berbicara, dan aku belajar mendengarkan. Mengangguk, tersenyum. Berusaha tak
mengeluarkan sepatah kata supaya mirip dengannya. Aku ingin belajar seperti
dia, menjadi pendengar yang baik.
Andai
saja mobil Mirna punya sayap, aku ingin segera sampai di rumah. Di sana dia
pasti sudah menungguku. Tadi aku memintanya pulang duluan. Bergegas aku membuka
pintu pagar sambil melambaikan tangan, mengucapkan sampai jumpa pada Mirna dan
temannya. Tanganku bergetar membuka pintu. Aku rindu sekali padanya. Entah
mengapa. Padahal pagi tadi kami bertemu. Bahkan di café tadi dia membuntutiku
ternyata. Aku menangkap basah dia di depan toilet. Katanya dia hanya ingin
mengatakan bahwa aku cantik. Bahwa aku tetap cantik meski lipstikku luntur oleh
mie goreng.
“Bagaimana?
Kamu telah menemukan belahan jiwamu? Apa ini saatnya kamu meninggalkanku?” tanyanya
lirih. Matanya sayu. Aku tahu makna tatapan itu. Ia takut aku tingalkan.
Seperti halnya aku yang takut kehilangan. Menatap kedalaman matanya, aku merasakan aneh.
Gairah yang berbeda. Badanku menghangat. Sebaliknya aku merasakan ia begitu
dingin. Aku pikir ini saatnya membuat pengakuan. Mengungkapkan perasaan yang
lama terpendam.
“Belahan
jiwaku adalah kamu. Aku tak perlu lagi yang lain,” bisikku tepat di depan
wajahnya. Matanya berbinar penuh cinta. Bibirnya melengkung membentuk huruf ba
tanpa titik. Aku mengangkat telapak tanganku menempelkan dengan telapak
tangannya. Dingin. Ibu jariku bertemu ibu jarinya, begitupun telunjuk dan
jemari lainnya. Mengapa ini? Aku tak merasakan hangat darahnya. Yang ada
hanyalah dingin. Dekat tapi bersekat.
“Aku…menyintaimu”
Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tapi dia dingin. Kuulang berkali-kali,
menjauhkan dan mendekatkan wajah padanya, ia tetap dingin. Kesal, kubenturkan
dahiku ke dahinya dengan keras. Prang!!! cermin itu pecah. Sekarang aku
merasakan ada hangat yang mengalir.
(Pengarang: Nirma Herlina, pengurus Forum Lingkar Pena Cabang Rokan Hulu, pegiat literasi dan pendidik)
0 Komentar