Nggak Semua Tulisan yang Kamu Buat Harus Diterbitkan



 Foto: unsplash.com
Sekitar 12 tahun lalu, saat pertama kali memutuskan ikut pelatihan menulis saya selalu ingat dengan kata-kata setiap mentor yang melatih. Menulis itu proses, kamu harus tahan proses, nggak cuma setahun tapi puluhan tahun, bahkan seumur hidupmu. 

Kamu tahu Andrea Hirata? Dia memang populer dengan novel pertamanya, tetapi dia sudah menulis sejak 9 tahun. Kamu? Kira-kira itu nasihat yang selalu saya dengar. 

Uni Maimon Herawati sang pendiri FLP juga bilang di Masjid Arfaunnas Universitas Riau tahun 2010, dia nanya kamu berapa tahun baru mulai menulis? Sekitar 2 tahun jawab saya. Tunggu sekitar 5 tahun lagi ya, tetap konsisten dan tunggu hasilnya. Begitulah saya dan orang-orang dulu saat diberi nasihat bahwa menulis itu proses. 

Pertama kali gabung di komunitas kepenulisan nggak pernah sama sekali diiming-iming tentang nikmatnya alias populernya jadi penulis ke sana kemari. Kami hanya dituntut belajar mendalami skill waktu itu. Tapi Gaes, zaman sudah berubah? Benar begitu? Zaman memang berubah, tetapi kualitas itu tetap dibutuhkan. Masih nostalgia zaman dulu. 

Saat ikut gabung di komunitas kepenulisan, saya hanya melihat perjuangan orang-orang terdahulu. Mereka memantapkan tradisi literasi. Baca buku, bikin karya, bedah karya, bedah buku, diskusi, apresiasi dan sebagainya. Memantapkan kualitas di awal saya pikir hal yang tak boleh dilupakan oleh penulis semua zaman. Jadi penulis itu bukan semacam artis yang kamu cuma butuh penampilan keren, banyak follower deelel. 

Di sini orang-orang yang sedang berjuang dengan idenya. Soal kemasan bisa didesain sesuai zaman, tetapi isi kamu nggak akan pernah bisa meninggalkan kualitas. Populer apakah pasti berkualitas? 
Belum tentu, tetapi percayalah kalau kita berkualitas zaman tak akan pernah meninggalkan kita.

Tentang Menerbitkan Karya 

Beberapa diskusi saya dengan teman-teman penulis menyebutkan, nggak ada salahnya kok kita menerbitkan buku secara mandiri, asalkan memang kualitas dijaga. 

Persoalannya Apa? 

Beberapa tahun terakhir saat saya mengisi pelatihan, saya sering bertanya kepada peserta pelatihan, sudah punya buku belum? Jawabnya, belum karena nggak punya uang buat nerbitin buku yang mahal. 

Kalau yang sudah berhasil punya buku sambil show-show karyanya, sudah dipastikan ia sudah merogoh sejumlah uang untuk penjualannya. 

Saya tanya, kenapa nggak coba ajukan karya ke penerbit yang nggak bayar? Jawabnya macam-macam. Ada yang kaget baru tahu kalau ada ya cara menerbitkan buku yang nggak bayar (yang ini saya senyumin aja), ada juga yang langsung bilang malas antre lama dan belum tentu diterima. 

Ada juga yang berdalih saya kan nulis buku buat pangkat aja, nggak cocok buat jalur penerbit yang nggak bayar itu karena soal waktu. 

You know? Sebenarnya ini bukan soal royalti atau apalah, tapi kualitas. Bagaimana kamu bisa menjamin buku yang baru kamu tulis dalam satu minggu dan bahkan 3 hari itu berkualitas? 

Lalu kamu terbitkan sendiri, biaya sendiri, jual sendiri? Ingat, literasi itu pengetahuan. Seberapa hebat sih pengetahuan yang kita kumpulkan dalam sebuah naskah buku yang kita tulis dalam beberapa hari? Itu pertanyaannya. 

Lagi-lagi sebenarnya karena persoalan kita nggak sabar dengan proses, keburu pengen disebut jadi penulis dan punya karya. Ruang literasi ini bukan buat ‘ngartis’ kok, tapi buat mereka yang bener-bener ingin memberikan kualitas. 

Kok jahat banget sih Mbak artikelnya? Ya, gue lagi baper soalnya haha. Nggak, ini soal persepsi yang sudah bertahun-tahun ditanamkan ke saya. Kalau punya persepsi berbeda silakan tulis ya, dalam hal pendapat kita tentu boleh beda. 

Apa Mbak Nggak Pernah Buat Buku Indie? 


  Foto: unsplash.com
Pernah dong dan sangat pernah. Tapi saya move on dan coba terus berproses. Bahkan saya nggak pernah lagi menunjukkan karyak-karya awal saya, malu dengan kualitasnya. 

Saya punya pendapat, buku terburuk yang kita tulis adalah buku pertama yang kita buat. Demikian juga tulisan-tulisan yang lain, jadi bagaimana kita tega langsung membukukannya? 

Tapi kan Mbak itu untuk Mendokumentasikan Karya Kita? 

Bener lo sekadar mendokumentasikan? Yang ada juga pasti kita bakalan show-show ke publik tentang karya kita. Hello Gaes, gue udah jadi penulis nih. Jadi bagaimana? Nggak masalah lo mau indie atau mayor, tapi plis jaga kualitas. Asma Nadia juga hebat dengan buku-buku indienya, tapi ya memang kualitas diperhatikan. 

Kalau penerbit mayor, kamu akan tahu bagaimana kualitas bukumu itu di depan orang lain. Di situ berkumpul orang-orang yang akan menilai karyamu dari semua sudut pandang (ide, pasar, penggarapan, kemampuan berbahasa deelel). Bahkan dari segi editing udah pasti 90% lebih sempurna dibanding editingmu sendiri. 

Jadi intinya bagaimana kita ini membuat yang lebih berkualitas untuk perbukuan kita. Memang kritik saya buat yang bertahun-tahun ngejar kualitas akhirnya gagal produktif. Ini juga salah, semuanya harus seimbang, harus sadar bahwa ia sedang berproses. 

Ngerti kan maksud saya? Ayolah sama-sama berproses lagi, capek juga kalau kita terburu-buru. Yang sudah lama berproses ayo lebih matangkanlah, berani garap dan terbitkan karyamu.(Oleh: Nafi'ah al-Ma'rab)

Posting Komentar

7 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. MasyaAllah, betul ya kak...berproses itu enggak mudah, tapi kalau ikhlas dan sabar menjalaninya, semoga happy ending nantinya 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itulah Kak, ayo kita mulai lagi...Insya Allah bekalnya sudah banyak tu kakak...:)

      Hapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)