Sastra Serius dan Sastra Hiburan
Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai karya lisan dan tulisan yang mengekspresikan nilai keindahan, orisinal, seni dan kreatifitas. Sementara manusia sebagai objek dari karya sastra memiliki kemampuan yang beragam dalam menerima dan menelaah karya tersebut. Kecenderungan yang terjadi di masyarakat, karya sastra dianggap sebagai dunia sunyi yang kurang diminati, sebab biasanya menyuguhkan sesuatu yang rumit dan butuh telaah. Hal seperti ini membuat stigma di masyarakat, bahwa sastra itu dunia khusus, dunia mereka yang ahli di bidang itu.
Budi Darma membagi sastra dalam dua genre, yakni sastra hiburan dan sastra serius. Selama ini orang lebih dekat dengan sastra yang bersifat hiburan, karena lebih mudah dipahami tanpa harus ribet menelaah dan memikirkannya. Ini pulalah yang menjadi kegemaran remaja saat ini. Kecenderungan orang menyukai sastra hiburan lebih tinggi dibandingkan tradisi mengkaji buku sastra serius yang memiliki banyak nilai pembelajaran dari masa ke masa.
Sastra serius lebih bertahan dengan usianya, meskipun telah berates tahun usianya. Sebut saja misalnya karya pujangga asal Kepulauan Riau, Gurindam Dua Belas sebagai buah pemikiran Raja Ali Haji pada abad ke 18, hingga saat ini gurindam tersebut masih dijadikan pembelajaran wajib pendidikan budaya di sekolah-sekolah yang ada di Riau dan Kepulauan Riau. Ini membuktikan kekuatan nilai dari sastra tersebut masih bertahan, meski abad telah berganti sekalipun.
Usia Remaja dan Karya Sastra
Secara umum, para ahli mendefinisikan remaja sebagai usia peralihan antara anak-anak menuju dewasa, tepatnya usia 12 hingga 21 tahun. Di Indonesia usia ini biasanya merupakan usia SMP, SMA hingga awal-awal masuk perguruan tinggi. Kecenderungan mental para remaja pada umumnya masih labil, membutuhkan arahan, pembentukan karakter dan contoh yang baik dari lingkungannya. Dalam kondisi inilah sastra memiliki peran sebagai sarana edukasi yang tepat bagi kalangan remaja.
Sastra adalah pendidikan yang diharapkan mampu memberikan alternatif pembelajaran, pembentukan mental selain dari aspek-aspek pembelajaran lain yang diterima remaja dari rumah dan lingkungannya.
Dilihat dari manfaatnya, ada beberapa hal yang bisa dioptimalkan fungsi dari karya sastra tersebut terhadap usia remaja, diantaranya adalah:
Pembentukan Karakter
Sastra sebagai produk lisan dan tulisan memiliki nilai pesan yang mampu memberikan pemahaman dan nilai bagi para remaja sebagai upaya pembentukan karakter. Misalnya orang tua biasanya akan sedikit sulit menasihati anak remaja tentang suatu akhlak tertentu yang dianggap kurang baik di masyarakat, maka alternatif solusinya bisa dengan menyuguhkan karya sastra yang memiliki pesan moral yang baik. Tanpa merasa digurui, para remaja akan membuka hati dan pikirannya pada pesan yang ia baca dalam teks sastra. Bukan hanya usia remaja, bahkan fungsi pembentukan karakter ini pun sudah bisa dimulai dari usia anak-anak.
Pembelajaran Estetika Bahasa
Pergaulan dan lingkungan terkadang membuat usia remaja rentan ‘alay’ mengikuti aneka gaya bahasa yang sedang terjadi di lingkungannya tanpa memperhatikan baik buruknya sesuatu yang ia ikuti. Sastra mengajarkan bahasa yang indah, baik dan memiliki nilai edukasi.
Merutinkan anak remaja membaca karya sastra yang baik sejatinya sedang mengajarkan ia lebih bijak dalam berbahasa. Sebab bahasa adalah alat komunikasi pergaulan. Pergaulan bisa bermasalah jika bahasa yang digunakan mengandung nilai keburukan dan tidak memperhatikan etika. Suguhkan karya sastra yang beradab agar anak-anak remaja kita paham dengan adab.
Pembelajaran Mencari Solusi
Remaja merupakan usia yang butuh curhat dengan orang yang ia percaya. Ia mulai merasa memiliki banyak masalah dalam kehidupan dan lingkungannya. Remaja butuh solusi yang membantu dirinya keluar dari masalah yang dihadapi. Membaca naskah karya sastra merupakan upaya dirinya untuk mencari solusi atas masalah yang mungkin serupa dihadapi. Berikan karya-karya sastra yang edukatif kepada remaja, sehingga mereka pun bisa mendapatkan solusi bijak atas masalah yang dihadapi.
Edukasi dan Hiburan
Fungsi sastra bukan hanya memberikan nilai pendidikan bagi pembacanya, tapi juga hiburan. Keduanya dibutuhkan secara berimbang oleh remaja agar ia tidak stres menjalani kehidupannya. Ada ruang edukasi dan ada pula celah untuk mendapatkan hiburan yang positif. Bacaan karya sastra akan memberikan ruang pengalaman batin yang berbeda, yang akan berkesan dalam kehidupan jangka panjang seseorang.
Mengajarkan remaja dekat dengan sastra sejatinya mengajarkan remaja tersebut kelak menjadi orang besar. Apapun profesi remaja itu kelak setelah ia dewasa, fungsi dan manfaat karya sastra akan tetap terbangun. Meski ia menjadi pejabat, ia tetap akan memiliki kelembutan hati dan nurani, terbangun empatinya melihat kondisi di sekitarnya.
Terlebih lagi jika ia menjadi guru bagi murid-muridnya. Ia akan mudah membangun generasi yang penuh kreativitas, prestasi dan memiliki karakter yang baik.
Memang tak mudah mendekatkan remaja dengan sastra, dengan kondisi gempuran teknologi yang begitu massif. Remaja lebih suka main gawai dibanding membaca dan menganalisa sebuah buku, apalagi buku tersebut berbahasa sastra yang serius.
Maka kreativitas para pegiat sastra harus terbangun. Menyuguhkan karya sastra dengan bahasa yang menarik remaja sebagai langkah awal mengajak mereka dekat dengan sastra. Memasukkan karya sastra dalam setiap fasilitas teknologi yang ada saat ini.
Tak masalah anak-anak bermain gawai seharian misalnya, jika yang dibaca ternyata adalah karya sastra tulisan yang memiliki makna dan fungsi yang berguna. Dekatkan remaja dengan sastra, dengan segala cara. Ini adalah investasi jangka panjang Indonesia membangun generasi masa depan yang lebih berkarakter.
(Oleh: Nafi’ah al-Ma’rab/ Pengarang Novel/ Pegiat literasi di Riau)
0 Komentar