Ini tentang perjalanan kunjungan saya dan Forum Lingkar Pena Riau ke salah sebuah penjara perempuan yang ada di Pekanbaru.
Tiba agak terlambat, saya dan suami sedikit bingung dan heran. Kami melihat perempuan-perempuan berdandan necis, pedagang-pedagang mainan yang cukup ramai di depan pintu masuk penjara.
Seperti bukan kawasan penjara, di sini semuanya nyaman dan serba ada. Lalu kami melangkah menuju ke bagian penjara perempuan. Suasana sedikit lebih sunyi. Rupanya para tahanan laki-laki lebih banyak dijenguk keluarga perempuannya dibanding dengan tahanan wanita yang relatif sepi. Setelah memberi tahukan identitas kami kepada penjaga, kami pun dipersilakan masuk.
Suasana yang cukup hening menjemput kami.
Aliran gemercik air dari kolam ikan yang mengalir terdengar begitu indah. Rupanya sebagian tahanan sedang mengikuti pelatihan. Saya melihat perempuan-perempuan berpakaian necis dan mahal, mereka lalu lalang.
Sebagian ada yang berseragam pink, dan yang ini sudah dipastikan tahanan wanita di tempat ini. Saya bersama suami dan anak langsung menuju aula, lokasi kami mengisi pelatihan. Di dalamnya sudah ramai perempuan-perempuan berseragam pink, yang jumlahnya sekitar puluhan orang.
Yang menarik mereka berpenampilan segar, wajah bermake up dan tetap tertawa-tawa bersama teman-temannya. Saya duduk di ruangan, beberapa saat kemudian perempuan-perempuan berpakaian necis yang saya lihat di luar tadi ikut masuk, jumlahnya hampir ratusan.
Setelah memberi sambutan acara, saya keluar menjaga anak.
Di dalam terdengar kehebohan para peserta pelatihan. Bang Arlen si pemateri sukses membuat perempuan-perempuan itu tertawa hingga akhir acara. Saya masuk ke dalam lagi dengan sedikit canggung. Saya dikeliling perempuan-perempuan berpakaian necis tadi, saya pikir mungkin saja mereka ini karyawan penjara yang juga tertarik menulis.
Tetapi beberapa menit kemudian, beberapa orang mendekati saya dengan sangat antusias, bahkan ada yang sambil membawa anaknya.
“Kak, saya minta nomor hp nya ya, anak saya usia SMP senang sekali menulis, saya ingin dia punya buku. Saya juga banyak menulis di kertas-kertas, saya ingin punya buku.” Seorang ibu bersyal putih dengan kaca mata dan rambutnya yang sedikit berwarna mendekati saya, dia mencatat nomor hp saya.
“Kak, saya sangat senang dengan acara ini, saya baru kepikiran kenapa selama ini saya tidak menulis saja untuk merekam kesedihan saya. Saya seorang bendahara desa yang menjadi korban fitnah orang desa. Saya dibui, mereka yang menikmati uang desa. Saya akan menulis Kak, saya akan mengeluarkan kesedihan saya.” Kali ini seorang perempuan dengan busana yang cukup syar’i dengan bahan bermerek bercerita panjang lebar di telinga saya.
Tak kuasa ia menghapus air matanya sambil memeluk anaknya.
“Saya diperlakukan tidak adil, anak saya harus menjadi korbannya, dia harus tidur di penjara bersama saya. Saya akan tuliskan suara hati saya di tulisan yang akan saya buat.” Ia terus menangis sambil memeluk anaknya.
“Anak kakak usia berapa?”
“Belum sampai setahun,”
Ada rasa nyeri di hati saya sebagai sesama perempuan. Lalu saya edarkan lagi pandangan pada perempuan-perempuan lain. Ada yang memangku bayi yang baru lahir, ada juga yang menemani anaknya yang berlari-lari sekitar 3 tahunan.
“Jadi mereka semua tinggal di sini, Kak?”
“Iya, mereka tinggal bersama ibunya di sini.”
Saya diam lagi, tak sampai hati membayangkan tekanan mental pada si anak. Meski ia belum tau saat ini dimana ia berada, namun setelah keluar nanti, ia akan mendengar orang-orang berbicara tentang dirinya dan ibunya.
“Jangan berkecil hati Kak jika singgah di sini, Insya Allah orang-orang yang menulis dari balik penjara, apabila mereka memang korban ketidak adilan, maka mereka akan menjadi besar setelah keluar nanti.”
Saya menguatkan perempuan-perempuan yang mulai menangis.
Jika mereka para perempuan di balik jeruji dan menggendong anak bersiap sedia untuk menulis bahkan ada yang sudah merampungkan kisah hidupnya dalam sebuah novel, kenapa kita yang bebas di luar penjara tak kunjung tuntas dalam menulis?
Oleh: Nafi’ah Al-Ma’rab
0 Komentar