Misteri Tokoh “Owl” : Sugesti Literasi?

Foto: unsplash.com
Oleh Riki Utomi
 
Jatuh bangun literasi kita 

Konon dunia literasi di tanah air sangat merisaukan. Hal ini menjadi kerisauan serius oleh salah satu tokoh sastrawan Taufiq Ismail. Sastrawan sepuh itu tentu bukan sembarang berkata, ia telah melakukan banyak riset ke beberapa negara tentang literasi. Dari studinya dan pengamatannya, penyair yang dikenal dengan buku puisinya “Tirani dan Benteng” itu membuat resume mengapa generasi kita kini “rabun membaca, pincang mengarang.” Faktor-faktor penghambat perkembangan literasi tersebut diuraikannya dalam diskusi-diskusi bersama redaksi Horison pada sekitar tahun 1995 dari awalnya 14 butir, hingga menjadi 35 butir masalah (Taufiq Ismail, 2003).   

Kumpulan gejala-gejala itu, lanjut Taufiq, sudah mirip epidemik yang tak kunjung jelas diagnosisnya. Bila ditelusuri penyebabnya, maka salah satu etiologi utamanya diperkirakan adalah butir terakhir dari keseluruhan senerai tersebut, yaitu merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang, dan pengajaran sastra di sekolah (Taufiq Ismail, 2003). Pernyataan tersebut bisa diangap benar, karena melihat realitas saat ini generasi muda kita—pada umumnya—masih kurang “selera” dengan membaca, khususnya membaca karya sastra. Kehadiran sastra di tengah masyarakat masih dianggap belum penting; tidak menjadi perhatian khalayak ramai dan sambil lalu. Meski beberapa buku sastra cukup menjadi perhatian publik, namun seiring waktu berjalan, selera masyarakat belum begitu terpupuk untuk membaca karya sastra tersebut setelah satu karya sempat menjadi tren (baca: booming). 

Taufiq menambahkan, memberikan perbandingan kualitas daya literasi generasi dahulu itu yang luar biasa daripada sekarang. Para pelajar yang masih sempat mengenyam bangku sekolah di zaman pemerintahan jajahan (Belanda) seperti Algemeene Middenlbare School (AMS) yang pada masanya mewajibkan para siswa membaca buku sastra sebanyak 25 buku dalam 3 tahun. Sedang kewajiban mengarang oleh siswa sebanyak 36  pertemuan ketika itu, cukup menjadi sesuatu yang sangat berharga. Hingga mereka yang lulus pada waktu itu benar-benar memiliki daya literasi yang tinggi.  

Keterampilan yang terasah dari pendidikan yang mereka dapatkan itu mampu memberikan daya intelektual. Daya gugah berliterasi seperti itu yang dapat menjadi contoh bagi generasi muda kita saat ini. Memiliki kemampuan literasi yang bagus akan memberikan rasa ingin tahu yang tinggi kepada sesuatu hal yang ada dalam buku dengan baik. Seseorang yang telah berkemampuan membaca tinggi akan lebih mudah menumpahkan pemikirannya dengan teratur (terstruktur) baik lisan maupun tulisan, lebih luwes dalam menyampaikan kritikan tanpa berbelit-belit, lebih langgeng dalam menuliskan sesuatu dengan bahasa sederhana namun tetap memiliki daya bobot yang tinggi dan bernas, sekaligus berkualitas. Ia tidak canggung dalam mengarang dan tidak sulit dalam berpikir, sebab ia telah memiliki keluasan pengetahuan.  

Taufiq Ismail berkisah kembali, generasi siswa MULO-AMS yang bercelana pendek di tahun 20-an, 30-an, dan 40-an itu bernama antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Muhammad Natsir, Sutan Sjahrir, Djuanda, Wilopo, Kasimo, Muhammad Yamin, Prawoto Mangkusasmito, Ruslan Abdulgani, Sjafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, dan Rosihan Anwar. Mereka mulai banyak membaca di MULO-AMS dan meyoritas dari mereka kelak berkemamuan tinggi menuliskan pikiran mereka, sebagai panen buah latihan mengarang di sekolah dahulu. Segala tulisan seperti anak sungai, terbit dan mengalir dari tangan mereka.  

Sampai sekarang, karya-karya mereka masih berjiwa dan memiliki ruh sebagai pengetahuan yang dipelajari. Hatta yang dijuluki “Bapak Ekonomi” itu memiliki kebiasaan membaca yang teratur dalam hidupnya. Ia (Hatta) membaca buku-buku pelajaran pada malam hari, sedangkan buku-buku lainnya berupa karya fiksi (novel atau cerpen-cerpen) akan ia baca pada sore hari sebagai bentuk menambah literatur pengetahuannya. Disiplin membaca ini yang dikemudian hari menjadikannya sebagai seorang intelektual yang mampu memberi sumbangsih tenaga dan pemikiran bagi bangsa ini.  

Mereka, para pendiri bangsa itu, juga memiliki kegemaran dalam membaca karya sastra. Karangan-karangan sastrawan dari negeri jauh seperti Karl May, Mark Twain, Ennid Blyton, Fydor Dostoyevsky, Markxim Gorky, Albert Camus, Milan Kundera, Ernest Hemingway, Nikolay Gogol, Knut Hamsun, William Saroyan, Goothe, dan lain sebagainya menjadi seperti sebuah keharusan. Mereka paham bahwa karya sastra mampu memberikan nilai lebih untuk membangun daya gugah literasi. Karya sastra memberikan pengaruh besar dalam menciptakan daya imajinasi dalam segala hal, membangkitkan daya pengetahuan dan juga melatih berpikir kritis. Seperti yang kembali dikatakan Taufik Ismail bahwa kegemaran membaca yang mulai dipupuk melalui buku sastra itu akan melebar ke bacaan lain, seperti ekonomi (misalnya Bung Hatta di atas), ataupun pula politik, sejarah, biografi, sains, agama, sosiologi, psikologi, humaniora, dan lain-lainnya. 

Inilah yang penting dicatat, bahwa karya sastra mampu memberikan dorongan kuat dalam daya literasi kita. Daya gugah karya sastra kelak memberi kesan kuat bagi seseorang dalam menanamkan prinsip berliterasi bagi dirinya. Ia akan mudah membaca; lancar dan cepat memahami bacaan, hingga akan terus berlanjut bacaannya itu ke jenis bacaan-bacaan yang lain (ke ilmu-ilmu lainnya). Maka, memupuk daya baca atau gemar membaca mamang harus dimiliki, mengingat alangkah ruginya kalau kita tidak mau membaca. Seseorang yang telah memiliki daya baca tinggi akan—secara tak langsung—mudah untuk menuliskan segala macam ide (gagasan, pemikiran) di atas kertas. Selain itu, ia akan mudah untuk mengungkapkannya secara lisan (bercerita) oleh karena pemikirannya telah luas akan perihal ilmu pengetahuan tadi.  

Hal di atas dapatlah menjadi inspirasi bagi kita dalam menyikapi perihal literasi. Semangat mereka sebagai kaum intelektual dahulu, memang patut diberikan apresiasi  tinggi. Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Tentu hal itu berpulang dari kita sendiri sebagai manusia yang terlahir pada era masa kini, dimana segala fasilitas kemajuan alat komunikasi semakin laju berkembang. Segala bentuk fasilitas bacaan yang sebenarnya telah tersedia dengan mudah yang tinggal unduh mampu hadir dengan cepat bagai angin melesap lalu muncul di layar gawai kita masing-masing. Hal itu menunjukkan betapa mudah akses bahan bacaan tersebut, yang sebenarnya lebih mengajak kita untuk mau secara langgeng membaca dan juga menulis. Apalagi tersedianya buku-buku yang banyak di toko buku sekelas Gramedia dan lainnya, belum pula yang tersebar di internet dengan format pdf yang tinggal unduh dan dapat langsung dibaca di layar gawai atau laptop. 

Semua fasilitas kemudahan itu sebagai cerminan apakah kita mampu berbuat lebih jauh daripada para pendahulu kita ketika berada di zaman serba terbatas dalam segala kemajuan teknologi—bahkan diantara mereka harus rela dan diam-diam membaca juga menulis di dalam penjara. Dengan literasi yang mudah saat ini sejatinya kita sebagai manusia yang penuh peradaban canggih, sewajarnya dapat saling bersaing dalam memiliki keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan ini adalah hal dasar yang harus dimiliki bagi kita. Dengan memiliki keterampilan membaca dan menulis akan mampu menjadikan manusia memiliki sejarah hidup yang panjang dalam kehidupannya; lingkungan dan negaranya.  

Menyibak tirai tafsir karya fiksi 

Uraian di atas tidak bermaksud lain, selain untuk memberikan pengaruh (sugesti) kepada sidang pembaca. Pengaruh bagaimanapun penting sebagai membentuk kemauan kepada orang lain agar juga senang dengan membaca dan menulis. Dalam penulisan kreatif karya sastra, seorang penulis akan membawa “misi” dalam ceritanya. Dalam hal ini cerpen tidak saja menyuguhkan apa yang ada atau apa adanya dari tema yang diangkat dan segala perihal yang diolahnya, namun secara eksplisit ada sesuatu yang menjadi pemikiran tersendiri dari penulisnya untuk mengungkapkan sesuatu, atau menilai sesuatu, atau pula berupa mengkritik sesuatu.  

Dalam hal ini, cerpen, menjadi salah satu karya sastra yang asyik untuk menyampaikan sesuatu tersebut. Seperti Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah wawancaranya, bahwa ia menulis cerita Panji Tengkorak tidak saja cerita tersebut berurusan dengan juru silat, namun ada seuatu yang dibawa dalam cerita itu apakah intrik politik, tentang sosial, religiusitas, adat/tradisi (budaya), psikologi, kepercayaan, kemanusiaan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Hingga cerita mampu memberi kesan indah sebagai karya sastra dan tentu mengandung nilai-nilai kehidupan yang mengagumkan. 

Setidaknya hal demikian itu saya tangkap dari sebuah cerpen berjudul “Aku, Owl, dan Keluarga Kami” karya Fathromi Ramdlon. Cerpen yang diolah dari tema sederhana juga dengan gaya sederhana. Baik tema, bentuk pengolahan cerita, gaya ucap bahasa, dan perwatakan tokoh, juga konflik yang dituturkan tampak sederhana. Namun di balik kesederhanaan cerita itu seperti terbesit ruang lain yang mengusik. Karya sastra, sejatinya sebagai cerminan tentang kehidupan yang diambil sari-sarinya lalu diramu kembali dengan sedemikian rupa melewati tangan kreatif penulisnya hingga menghasilkan suatu karya yang bernas dan menarik. Saya jadi teringat dengan karya-karya para penulis seperti Knut Hamsun dengan Lapar-nya, yang mengolah hal-hal sederhana; bahkan terkesan sepele sebagai sebuah cerita yang diangkat ke dalam karya sastra, namun di balik itu semua ada nilai tentang kemanusiaan yang tinggi. Juga Nikolay Gogol dengan Overcoat-nya, yang hanya bercerita tentang seseorang telah bekerja mati-matian untuk membeli jas dari hasil uang gajinya, namun sial, karena sebelum ia sempat mengenakan jas tersebut, jas itu telah dicuri maling. Atau lebih jauh sebagai cerita heroik tentang seorang tua dalam The Old Man and The Sea Ernest Hemingway yang berjuang menangkap ikan di lautan luas untuk menunjukkan tentang dirinya masih dapat diperhitungkan dalam komunitasnya, namun naas ketika ikan Merlin yang besar itu dapat dibawanya ke tempat orang ramai, ikan itu telah habis tinggal tulang dimakan oleh ikan lain dan nyaris tak bersisa. Segala kesederhanaan itu mampu dibungkus dengan nilai-nilai kehidupan yang mengagumkan. Mereka adalah orang-orang yang jauh hari telah memiliki kemampuan berliterasi yang baik, hingga membawa sesuatu dalam karya-karyanya dengan mengangumkan.  

Di balik itu semua, cerpen karangan Romi (sapaan akrab lelaki muda ini yang juga seorang sineas berpengaruh) memiliki sesuatu yang patut ditelisik lebih jauh. Ibarat pintu yang bertirai, tirai tersebut harus disibak untuk masuknya sinar matahari pagi agar cerah dan terang ruangan rumah itu. Cerpen berjudul “Aku, Owl, dan Keluarga Kami” ini mengisahkan tentang tokoh Aku yang mengingat kembali ketika ia berusia anak-anak. Ayahnya telah mendapati seekor burung hantu yang cedera di belakang rumah. Lalu Ayah dan Ibunya berbuat baik dengan menolong si burung hantu itu sambil merawatnya, mengobati, memberi makan hingga sang burung kembali pulih. Tokoh Aku sebaliknya, merasa enggan menerima kehadiran aves bermuka seram itu, hingga membuatnya selalu terbawa mimpi buruk. Tapi orang tuanya tetap merawat sampai Owl, si tokoh burung tersebut sembuh dan siap untuk dilepaskan kembali. 
  
Sekilas cerita ini sederhana, alur yang mengalir lancar, lurus. Konflik yang terjadi berkisar pada pergolakan batin tokoh Aku yang sebagai anak-anak yang tak bersedia menerima kehadiran burung hantu itu karena takut. Namun di akhir cerita, keadaan menjadi terbalik, tokoh Aku yang pada mulanya membenci, tidak menerima Owl, dan ketakutan, malah merasa sedih ketika Owl akan dilepaskan kembali ke alam bebas karena dinilai sudah sembuh. Akhirnya, Owl memang dilepaskan oleh kedua orang tuanya untuk menghirup kebebasan dan kembali bersama kawan-kawannya di alam bebas.  

Lalu dimana kesannya cerita itu? Apakah sebatas cerita polos tentang pergulatan batin tokoh anak-anak yang sekadar takut akan burung hantu? Disini—secara sadar atau tidak—penulisnya seperti memberikan sesuatu kesan lain. Kesan yang dibangun dengan “sesuatu” yang tidak biasa tentang objek yang bernilai yaitu ketika saat tokoh Aku ketakutan karena berusaha ingin melihat Owl di malam hari pada ia masih dirawat. Dengan kadar imajinasi pada sebuah fiksi, diceritakan bahwa Owl ternyata mampu berbicara kepada tokoh Aku dengan mengatakan ia memiliki banyak buku dan, bahkan, memiliki galeri perpustakaan.
  
Di sini letak kesan itu. Penulis menaruh kesan yang barangkali tidak seperti kebanyakan pengarang anak-anak yang boleh jadi tetap memandang dengan sudut pandang objek dunia anak: semisal mainan; katakanlah pedang-pedangan, pistol-pistolan, orang-orangan, mobil-mobilan, dan sejenisnya. Penulis sebaliknya meletakkan objek benda “buku” sebagai gantinya. Apakah hal ini sejatinya telah menjadi pertimbangan dalam memilih objek diksi pada dialog itu dari Romi sebagai penulisnya? Ini tentu tak dapat kita pastikan. Boleh jadi hal ini terjadi bersifat spontan atau memang penuh pertimbangan matang. Pilihan diksi “buku” sebagai bentuk daya ungkap yang menurut saya “menggugah” yang dapat memberi kesan tersendiri; berdaya sentak bagi pembaca dalam kadar katogori cerita anak. Dalam hal ini, Romi tidak serta-merta memberikan penjelasan tentang objek diksi itu, ia hanya menyampaikan dengan gamblang dari tokoh Owl kepada tokoh Aku, yang nyatanya langsung berlari ketakutan mendengar sosok burung yang ternyata dapat berbicara.  

Membaca karya sastra sebagai bentuk apresiasi sekaligus membuka tirai makna yang terkandung di dalamnya. Jadi karya sastra bukan semata-mata pengisi waktu di kala senggang. Lebih dari itu, ada nilai-nilai yang mampu diraih. Pada dasarnya nilai itu masih bersifat eksplisit, sebab ia terselubung oleh ragam gaya ucap penulis sekaligus matefor-metafor yang dimainkan penulisnya. Maka sebagai pembaca, sejatinya kita ikut larut dalam imajinasi cerita yang dibawakan oleh sang penulis.  Juga menyelami kedalaman cerita sampai membuat rasa turut berkecamuk; larut dan mencoba menggapai sesuatu yang ditawarkan penulisnya. Maka sejatinya posisi pembaca berusaha menikmati dengan menyelami cerita yang dibaca. Sedang pengarang memberikan sesuatu ke dalam hal yang patut diapresiasi kembali oleh pembaca. Ignas Kleden mengatakan, … semakin dia (pengarang) sanggup melukiskan keunikan setiap tokohnya sebagai pribadi yang hidup dan individu yang konkret maka semakin jauh dia meninggalkan keilmuan dan semakin berhasil dia dalam penulisan sastra. Leo Loewenthal (dalam Kleden), mengatakan, masalahnya adalah bahwa lahir, bercinta, menderita, dan mati adalah hal-hal yang konstan dalam hidup manusia dan masyarakat. Yang akan membuat menarik adalah bagaimana dan dengan respon seperti apa setiap orang menghadapirnya, dan menghadapinya secara khas.  

Memang semestinya dengan segala kreativitas pengarang hal itu menjadi suatu nilai tersendiri yang dihadirkannya. Pengarang akan mengupayakan cerita yang dibawanya/digiringnya menjadi sesuatu yang menggugah. Itulah sebuah karya sastra. Di dalamnya ada “sesuatu” yang harus di ”tangkap”, “dicari” atau pula “diselidiki” oleh pembaca dengan daya imajinasi dan interpretasinya. Lalu kesan-kesan apa yang terdapat dalam sebuah cerita pendek di atas? Mengapa tokoh “Owl” yang sebagai burung hantu mampu berbicara kepada tokoh aku dengan pembicaraan tentang objek diksi “buku”. Disinilah kreativitas seorang penulis memberikan nilai lebih pada karyanya. Melewati tokoh-tokoh yang kontradiktif tersebut, secara tidak langsung ada suguhan daya gugah kepada pembaca. Dipilihnya diksi “buku” sebagai daya sentak itu mengingatkan bahwa ada bentuk “penawaran” kepada hal literasi. Diceritakan bahwa tokoh Aku seorang yang takut dengan kehadiran Owl. Owl secara simbolis menjadi sosok pembawa perubahan dan penyadaran. Dapat dikatakan tokoh “Owl” sebagai pribadi yang baik; kebaikan itu sesuatu yang sejatinya harus dapat diterima dan dimiliki, sebaliknya jangan dihindari. Hal ini diceritakan oleh pengarang bahwa tokoh Owl tidak pernah sekalipun mengganggu tokoh Aku dengan segala hal yang ada padanya. Owl menyadari tentang bentuk wajahnya yang menyeramkan; berbulu gelap, bermata tajam, namun tidaklah seseram yang disangka tokoh Aku.  

Tokoh Owl menyiratkan sesuatu bernilai, yang memberikan kebaikan dengan menawarkan sebuah buku. Dipilihnya diksi “buku” mampu memberikan kesan sugesti kepada pembaca bahwa benda itu merupakan hal yang sangat bermanfaat. Dengan buku akan membawa hal yang terang setelah gelap. Kegelapan (kebodohan) akan menjadi hilang setelah adanya keterangan (kepintaran, kepandaian, keterampilan, kecerdasan) dari buku. Usaha untuk mau menerima tokoh “Owl” adalah sejatinya bentuk kebaikan karena ia membawa sesuatu yang berharga yaitu nilai-nilai kehidupan (terang) dari hal yang sebelumnya bernilai ketakutan (gelap).  

Namun sayang, tokoh Aku selalu dirundung ketakutan akan keberadaan tokoh Owl, “Kemudian aku terbangun, lantas entah bagaimana pikiranku berhasil merekam segala kejadian mimpiku. Dan yang paling horor, saat Owl bicara kepadaku. Aku mengingat tiap kata yang ia ucapkan. Persis seorang guru besar yang tengah bicara dengan muridnya. Beberapa kali mengingat mimpi dan ucapan Owl, aku merinding. Malam-malam selanjutnya, aku tidak bermimpi lagi, tapi pikiranku terus terbawa pada burung hantu yang bisa bicara itu.” Hal ini menjadi sesuatu yang menjadi teror mental bagi tokoh Aku, dari mulai terbawa mimpi sampai terus mengingat kengerian Owl. Tokoh Aku yang masih belum menerima kehadiran Owl (sesuatu yang membawa terang) masih dihindari yang tentu sangat disayangkan.  

Hal ini menyuguhkan kesan ekstrinsik suatu cerita. Kebenaran bagaimanapun pada mulanya masih berupa sesuatu yang sulit untuk diterima. Segala yang berkecamuk dalam benak yang belum lepas itu, akan tetap sulit diterima. Tetapi hanya dengan kesabaran dan pelajaran-pelajaranlah kebenaran itu akan dapat mampu dicerna oleh manusia agar kebenaran itu mampu dimilikinya. Hal ini secara jauh banyak terdapat dalam kisah-kisah Nabi dan Rasul yang terdapat dalam Al-Quran. Selain itu juga kisah-kisah para sahabat Rasullallah. Dimana mereka menyampaikan kebenaran (hal yang terang) kepada kaum yang masih dalam kesalahan-kesalahan (hal yang gelap; kebodohan). Hingga kebenaran itu menjadi jelas dan membekas dalam dada manusia (orang-orang beriman).  

Dipilihnya diksi “buku” oleh pengarang dalam hal ini setidaknya membawa pengaruh nilai sugestif kepada pembaca. Buku sebagai bentuk benda yang harus dibaca. Melewati tokoh Owl dalam cerpennya, Romi menyiratkan pesan agar kita mau membaca. Memberdayakan budaya literasi yang harus kembali dimiliki. Dengan membaca buku (membaca apapaun konteksnya) akan memberikan pengaruh kebaikan bagi seseorang yang mampu memberikan nilai kecerdasan dan intelektual bagi seseorang tersebut. Meneguhkan diri untuk mau memiliki aktivitas membaca memang tidak mudah. Hal inilah yang diilustrasikan dalam cerpen ini bahwa tokoh Aku selalu ketakutan dan menghindar tokoh Owl yang jelas-jelas telah berusaha memberi kebaikan dengan penawaran buku kepadanya yang sejatinya ingin agar tokoh Aku menjadi cerdas. 
  
Tentu usaha-usaha untuk membangun literasi tidak semudah yang dibayangkan. Juga oleh sekelas sastrawan maestro seperti Taufiq Ismail yang diceritakan di awal tulisan ini. Kerisauannya akan dunia literasi di negeri ini cukup beralasan. Kerisauannya karena  merosotnya minat baca dan menulis manusia  negeri ini dikhawatirkan akan memberi dampak buruk bagi perkembangan keberadaban bagi suatu bangsa. Karena suatu bangsa yang maju dan penuh peradaban ditunjang oleh faktor literasi manusianya yang tinggi. Manusia yang cerdas dibangun dari literasi yang mampu memberikan energi besar bagi peradaban dan kemajuan suatu bangsa. Namun apabila tidak adanya kegemaran membaca, menulis, mengapresiasi (kegiatan literasi) akan menjadikan manusianya menjadi jiwa-jiwa hedonisme dan serba instan dalam segala hal. Melalui cerpen sederhana yang bernas ini, kesan yang masih terselubung itu tentu perlu disingkap ke bentuk tafsir-tafsir yang lain dari kreativitas pembacaan kita. Mengingat bahwa karya sastra sejatinya kaya akan nilai-nilai pelajaran yang terkandung di dalamnya. (*)

Selatpanjang, 6 April 2020
Riki Utomi. Penulis puisi, cerpen, esai, novel, dan naskah drama. Bergiat di FLP Riau.

Posting Komentar

0 Komentar