Ahad (8/3) lalu saya memandu sebuah diskusi karya yang cukup hangat di Rumah Prosa, sarangnya penulis-penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Riau. Hadir pada diskusi ini beberapa senior FLP Riau seperti Pak Bambang Karyawan, Ahmad Ijazi, Arlen Araguci, Alam Terkembang, Yeyendra hingga Fathromi.
Saya terkesan bagaimana cara penulis-penulis di atas memaparkan pendapat dan argumennya masing-masing pada karya yang dibahas.
Memang soal kualitas itu tak lepas dari soal selera, tetapi paling tidak ada beberapa catatan yang bisa saya simpulkan, sebagai pengingat kembali dan informasi untuk rekan-rekan FLP yang tidak hadir kemarin. Berikut beberapa poin pentingnya:
Karya itu Soal Isi, Lu Mau Ngomong Apa Sebenarnya?
Ungkapan yang sangat tajam dan berulang-ulang disampaikan Arlen Araguci dalam diskusinya, ia katakan kalau sekarang itu sudah nggak zamannya lagi menulis berbelit-belit hanya untuk memenuhi cita rasa keindahan.
Sebuah karya yang pertama kali dilihat adalah isinya, apakah menarik atau tidak, apakah ada pesannya atau tidak, apa ada manfaatnya untuk orang lain atau tidak?
Apa artinya kita menulis ratusan hingga ribuan halaman tetapi kenyataannya pembaca malah bingung dan tak mendapatkan apa-apa dari tulisan kita?
Isi itu jadi hal pertama yang harus diperhatikan dalam karya. Tuliskan paling tidak 15 kata yang mewakili isi dari cerpenmu sebelum ditulis. Oke, sampai di sini saya setuju.
Karya Liris pun Apa Salahnya?
Beda orang beda selera. Ungkapan Bang Arlen disanggah oleh penulis berbakat FLP Ahmad Ijazi, bahwa karya liris juga tak ada salahnya untuk dinikmati. Ada orang-orang yang membaca sesuatu hanya untuk mendapatkan keindahan bagi pengalaman hidupnya.
Sastra dengan suguhan keindahannya tetap dibutuhkan banyak orang. Artinya, menulis yang indah pun tak harus ribet dengan perkara apa yang akan disampaikan kadang menjadi kebutuhan.
Karya Kontemplasi Imajinasi
Dalam kesempatan ini diskusi
lebih banyak membahas cerpen karya Fathromi berjudul Kepulangan yang bertema
sastra hijau. Cerpen ini mendapat komentar yang beragam dan pemahaman yang berbeda-beda
dari pembaca yang hadir.
Seperti diketahui, Romi (panggilan akrab Fathromi) dikenal sebagai penulis yang melahirkan karya-karya kontemplasi imajinasi yang kadang susah dicerna.
Alam Terkembang mencoba memahami makna cerpennya dengan pendekatan puisi, sedangkan Yendra memahami cerpen tersebut dengan pendekatan yang lebih lugas dalam konteks sastra hijau.
Bambang Kariyawan dan Ahmad Ijazi punya pandangan yang lebih arif pada cerpen Kepulangan. Kedua penulis ini mengapresiasi positif bagaimana seorang penulis memiliki kebebasan memilih sesuatu genre yang disukainya, walaupun mungkin kurang menarik bagi orang lain.
Kritik tajam muncul dari sang redaktur Annida tentang cerpen Kepulangan, bahwa cerpen itu nggak melulu soal keindahan kok, yang seperti itu udah basi. Sekarang apa yang mau lu sampaikan ke pembaca, itu jauh lebih penting.
Diskusi yang menarik, hangat dan edukatif. Saya juga punya catatan tersendiri pada karya-karya cerpen anggota yang hadir pada kesempatan ini. Semua sedang berproses dan tumbuh, kita hanya perlu menyediakan ruang dan fasilitas yang cukup untuk itu.
Salam bergiat tiada henti
Nafi’ah al-Ma’rab
0 Komentar