Rezekimu Ada di Allah, Bukan di Sari Roti

“Sesungguhhnya Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Qs.51:58) 

Belakangan sedang heboh boikot memboikot produk di pasaran yang disinyalir pemiliknya tidak berpihak kepada Islam. Mulai dari siaran televisi, hingga produk makanan seperti sari roti. Ada yang setuju namun ada pula yang keberatan. 

Dalih mereka yang keberatan sederhana, kasihan pada karyawan yang bekerja di perusahaan bersangkutan. Atau yang siaran televisi akan berdalih bahwa tak semua siaran televisi di tv X itu buruk. Ada juga siaran yang bagus. 

Menjawab semua itu, saya ingin mengajak kita semua merenungkan hal berikut, dan renungan ini tentunya hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki iman di dalam hatinya. 

Memaknai kembali tauhidullah dan syahadatain yang kita ucapkan 

Di atas, sebuah ayat Al Quran dengan sangat jelas dan tegas menyebutkan, bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki yang sangat kokoh. 

Ayat di atas merupakan konsekuensi dari pemahaman kita dalam mengesakan Allah serta juga bagian dari tuntutan makna syahadatain. 

Allah sebagai satu-satunya zat Pemberi rezeki yang sangat kokoh harus lah tertanam di benak kita. Sehingga tidak akan membuat kita merasa takut akan masalah-masalah dunia. 

Rezeki kita bukan lah dari bos atau tempat kita bekerja, tetapi Allah lah yang menurunkannya melalui perantara manusia. 

Ketika pekerjaan yang kita lakukan justru membawa keburukan bagi agama Allah, apakah kita akan bertahan dan melupakan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung? 

Sungguh di situlah titik kelemahan akidah kita. Kita kerap kali memandang urusan-urusan duniawi sebatas apa yang kita rasakan dan pikirkan. 

Kita lupa mengembalikannya pada Al Quran. Lalu dengan bangganya kita mengumbar pemahaman kita yang masih dangkal di jejaring sosial dengan status-status yang tak mengenakkan. 

Kita lupa ada Allah, kita lupa bahwa Allah sendiri yang mengatakan, Dialah Maha Pemberi rezeki yang sangat kokoh. 

Kisah seorang Yahudi yang menunggu taksi barangkali sudah sangat sering kita dengar. Ia menunggu di malam yang gelap dan dingin sembilan buah taksi, namun semuanya ia tolak. Barulah saat taksi yang kesepuluh datang, ia mau naik ke dalamnya. 

Saat ditanya mengapa ia mau dengan taksi yang kesepuluh itu, jawabannya hanya satu, karena taksi itu milik orang Yahudi juga. Ia ingin uangnya mengalir kepada sesama Yahudi. 

Jadi jangan heran kalau Yahudi menggenggam perekonomian dunia. Mereka punya ikatan yang kuat dalam hal memajukan saudaranya sendiri, bagaimana dengan kita ummat Islam? Okelah siaran televisi di tv X ada yang bagus, tapi pemiliknya siapa? Yahudi saja tidak mau naik taksi selain punya Yahudi, lha kita?

Oleh: Nafi'ah al-Ma'rab

Posting Komentar

0 Komentar